Rabu, 19 September 2012

LIQO'

Semalam anak saya cece meili mengingatkan, ma besok hari rabu to ? saya liqo. Astaghfirullah saya sdh lupa bahwa setiap hari rabu dia ada jadual liqo, padahal schedule saya hari ini nanti sore mengisi liqo juga, terpaksa saya harus menjadual ulang janji saya krn cece meili harus saya jemput di sekolah, maklum sopir antar jemputnya tdk bisa menunggu samapai dia selesai liqo. mikir mikir tentang liqo saya jadi tersenyum sendiri, ingat saya pertama kali ikut liqo itu kelas 1 sma, usia saya waktu itu baru 15 tahun 1989 saya ingat  tahunnya,karena catatan liqo saya yg pertama bertanggal demikian, (duh catatan liqo saya rapi lho, lebih rapi dari cat kuliah, hehe) sedangkan cece meili baru kelas 4 sd, usianya baru 9 tahun, subhanallah luar biasa anakku ini. yg membuat saya bangga dia sangat ingat dan disiplin dgn jadual liqonya, hari ini pertemuan minggu ke 3 dan dia tetap semangat untuk menjalankannya walaupun usai pulang sekolah. mungkin karena penasaran kali yee, dari  kecil dia sdh tau kalo mamanya pergi selalu idzinnya, mama pergi liqo dulu nah, dan sekarang dia ikut liqo juga hehehe
Membandingkan masa sy liqo dulu dengan masa cece meili sekarang, jadi bersyukur juga. Dulu liqo kami sangat rahasia (cieeee). Pertama kali liqo tuh bukan di masjid tapi dirumah murabbi kami, sepatu 3/4 kami, (waktu itu sepatu sekolah yg trend yg 3/4, haha) harus dimasukkan kedalam rumah, terus murabbi kami (MR) nulis materinya dipapan tulis, kita nyatatnya harus cepat-cepat, krn setelah liqo selesai materinya dihapus lagi, tdk boleh fotocopy, makanya catatan kami jadi rapi semua, karena ditulis ulang lagi dirumah dan tidak boleh disimpan dirak buku, akhirnya sy nyimpannya disela-sela pakaian hahaha, tapi asyik juga lho jadi seperti spy gitu (ini pengaruh sering baca novel  detektif 5 sekawan dan hercule poirot, ngakak guling-guling)
Tapi subhanallah liqo awal tuh berbekas bangeeeeet (sebenarnya pengen panjangnya sekilometer  tapi pasti halamannya  nggak nyampe) ukhuwahnya lebih kental itu yg paling diingat , tapi bukan berarti sekarang berkurang....tdk juga saya orang yg senantiasa optimis disetiap mihwar dakwah, setiap mihwar selalu ada kekhasannya masing masing, dan zaman awal dulu itulah keistimewaannya., saya istilahkan membangun  basis pergerakan tentu membutuhkan pribadi-pribadi yg saling bertaut satu sama lain agar pekerjaan dakwah menjadi ringan terasa. kalo cece meili disuruh ikutan liqo seperti saya dulu apa mau dianya....jawaban saya pasti tidak mau karena ribet.  kini liqo terasa lebih mudah seperti wisata ruhani, untuk mengusir kegalauan dan rutinitas sehari hari dan tentu saja ngikutin trend bo hehehe tapi kalo dibandingkan antara pengetahuan cece meili dg saya dulu, mendingan dianya, dulu awal saya liqo jilbab masih senin kamis (maksudnya kadang pake kadang buka)  kalo miring kekiri leher kanan kelihatan, kalo miring kanan leher kiri kelihatan (saking pendeknya) hafalan juz amma cuman trikul doang (Qul huallahu ahad dkk) lha dianya sdh dibiasakan pake jilbab semenjak TK, hafalan sdh sampe attakwir (jadi ingat janji saya kalo juz 30 selesai dibelikan ipad, makanya mamanya nabung mulai dari sekarang) hafalan hadits sdh banyak, ngajinya sdh lancar tajwidnya bahkan kalo tilawah sama-sama sampe sekarang mamanya sering dikritik krn kurang dengung hikzzz, alhamdulillah sih itu  artinya ada progress ya cece meili, harus dong anaknya lebih hebat dari mamanya (2 jempol buat cece meili)
by the way, mama berharap cece meili tetap setia berliqo ria hingga akhir zaman (lama banget.....^^") liqo memang bukan segala-galanya tapi awal dari segala-galanya. Amal perbuatan seseorang itu bukan dilihat dari besar atau kecilnya tapi dilihat dari istimrariyahnya (kesinambungannya) ada orang yg mengerjakan amalan dg pahala kecil tapi terus menerus bisa masuk syurga dibandingkan mengerjakan amalan besar tapi cuman sekali (mama nulisnya sambil tersedu-sedu) semoga cece meili bisa istiqomah sampai akhir hayat .. selamat liqo hari ini, mmuah...peluk dan cium untuk cece meili ^^

Selasa, 29 Mei 2012

http://www.hasanalbanna.com/doa-rabithah-doa-di-sepanjang-mihwar-dakwah/


Sebuah tulisan pak cahyadi takariawan yg menggugah memori tentang perjuangan dakwah beberapa tahun yg lalu, tulisan ini sekaligus kupersembahkan buat para murabbiyah dan akhawat yg telah menyertai dakwah ini hingga hari ini  
Siang tadi (Sabtu 3 Desember 2011), saya mengikuti acara tatsqif Kader Dakwah di Markaz Dakwah Gambiran, Yogyakarta. Ustadz Tulus Mustafa menyampaikan tausiyah yang sangat mengena. Perawatan terhadap kader pada era dakwah di ranah publik harus semakin dikuatkan. Sarananya, kata dia, telah terangkum dalam Doa Rabithah yang rutin kita baca setiap pagi dan petang.
Sembari mengikuti tausiyah beliau, ingatan saya menerawang jauh ke belakang .....
Suatu Waktu, di Era 1980-an .....
Tigapuluh tahun yang lalu, beberapa orang kader, tidak banyak, hanya beberapa orang saja, duduk melingkar dalam sebuah majelis. Di ruang yang sempit, diterangi lampu temaram, duduk bersila di atas tikar tua, khusyu ', layanan, tawadhu'.
Tidak banyak, hanya beberapa orang saja. Berbincang membelah kesunyian, pelan-pelan, tidak berisik. Semua datang dengan berjalan kaki, naik sepeda tua, atau naik kendaraan umum saja. Pakaian mereka sangat sederhana, apa adanya, bersahaja. Hati mereka sangat mulia.
Tigapuluh tahun yang lalu, beberapa orang itu bercita-cita tentang kejayaan sebuah peradaban. Cita-cita besar, mengubah keadaan, menciptakan peradaban mulia.Wajah mereka tampak teduh, air wudhu telah membersihkan jiwa dan dada mereka. Tidak ada yang berbicara tentang fasilitas, materi, jabatan dan kekuasaan.
Mengakhiri majelis, mereka menundukkan wajah. Tunduk dalam kekhusyukan, larut dalam kehangatan persaudaraan, hanyut dalam samudera kecintaah. Doa Rabithah mereka lantunkan. Syahdu, menusuk kalbu.
Air mata berlinang, bercucuran. Akankah segelintir orang ini akan bisa mengubah keadaan? Akan beberapa orang ini akan mampu menciptakan perubahan? Hanya Allah yang mengetahui jawaban semua pertanyaan. Doa telah dimunajatkan, dari hati yang paling dalam:
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah bertemu dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu, telah berpadu dalam membela syari'at-Mu."
"Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar."
"Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma'rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu. "
"Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.Amin ... "
Dingin, menyusup sampai ke tulang, mengalir dalam darah. Meresap sampai ke sumsum dan seluruh sendi-sendi tubuh. Merekapun berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat. Masing-masing meninggalkan ruang. Satu per satu.Hening, tenang. Tidak ada kegaduhan dan kebisingan.
Masa Handphone, ke Era 1990-an
Sekelompok aktivis dakwah, cukup banyak jumlahnya, berkumpul dalam sebuah ruang yang cukup luas. Ruang itu milik sebuah Yayasan, yang disewa untuk kantor dan tempat beraktivitas. Mampu menampung sampai seratus orang. Semua duduk lesehan, di atas karpet. Lampu cukup terang untuk memberikan kecerahan ruang.
Sebuah Daurah Tarqiyah dilakukan. Para muwajih silih berganti datang memberikan arahan. Taujih para masyayikh di seputar urgensi bersosialisasi ke tengah kehidupan masyarakat, berinteraksi dengan tokoh-tokoh publik, memperluas jaringan kemasyarakatan dengan pendekatan personal dan kelembagaan. Semua aktivis diarahkan untuk membuka diri dan berkiprah secara luas di tengah masyarakat. Membangun jaringan sosial dan membentuk ketokohan sosial.
Sekelompok kader, jumlahnya cukup banyak, datang dengan mengendarai sepeda motor, beberapa tampak mengendarai mobil Carry dan Kijang tua. Wajah mereka bersih, bersinar. Penampilan mereka tampak intelek, namun bersahaja. Sebagian berbaju batik, sebagian lainnya berpenampilan rapi dengan setelan kemeja dan celana yang kompatibel.
Acara berlangsung khidmat dan sederhana. Namun sangat sarat muatan makna.Sebuah keyakinan semakin terhujamkan dalam jiwa, bahwa kemenangan dekat waktunya. Kader dakwah terus bertambah, aktivitas dakwah semakin melimpah ruah. Semua optimis dengan perkembangan dakwah.
Usai acara ditutup dengan doa. Hati mereka khusyu ', jiwa mereka tawadhu'.Sekelompok aktivis dakwah, cukup banyak jumlah mereka, menengadahkan tangan, sepenuh harapan dan keyakinan. Munajat sepenuh kesadaran:
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah bertemu dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu, telah berpadu dalam membela syari'at-Mu."
"Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar."
"Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma'rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu. "
"Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.Amin ... "
Mereka berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat dan hangat. Hati mereka tulus, bekerja di jalan kebenaran, pasti Allah akan memberikan jalan kemudahan.Doa Rabithah mengikat hati-hati mereka, semakin kuat, semakin erat.
Perlahan mereka meninggalkan ruang, menuju tempat beraktivitas masing-masing.Layanan, hening, namun tetap terpancar wajah yang cerah dan harapan yang terang benderang.
Waktu Terus Mengalir, Sampai ke Era 2000-an ....
Para kader berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Memenuhi ruang ber-AC, sebuah gedung pertemuan yang disewakan untuk kegiatan. Diterangi lampu terang benderang, dengan sound system yang memadai, dan tata ruang yang tampak formal namun indah. Tampak bendera berkibar dimana-mana, dan sejumlah spanduk ucapan selamat datang kepada peserta diinstal indah di berbagai ruas jalan hingga memasuki ruang.
Sebuah kegiatan koordinasi digelar untuk mempersiapkan perhelatan politik tingkat nasional. Para aktivis datang dengan sepeda motor dan mobil-mobil yang tampak memadati tempat parkir. Mereka hadir dengan mengenakan kostum yang seragam, bertuliskan kalimat dan bergambarkan lambang partai. Di depan ruang, tampak beberapa aktivis berseragam khusus, menjaga keamanan acara.
Para kader berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Mereka duduk berkursi, tampak rapi. Pakaian mereka formal dan bersih, sebagian tampak mengenakan jas dan dasi, bersepatu hitam mengkilap. Sebagian datang dengan protokoler, karena konsekuensi sebagai pejabat publik. Ada pengawal, ada ajudan, ada sopir, dan mobil dinas.
Para qiyadah hadir memberikan arahan dan taklimat, sesekali waktu disambut gegap gempita pekik takbir membahana. Rencana Strategis (Renstra) dicanangkan, program kerja digariskan, rencana kegiatan telah diputuskan, para kader siap melaksanakan seluruh keputusan. Acara berlangsung meriah, diselingi hiburan grup nasyid yang tampil dengan penuh semangat.
Acara selesai, diakhiri dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, memimpin doa, munajat kepada Allah dengan kerendahan hati dan sepenuh keyakinan akan dikabulkan. Doa pun diumandangkan:
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah bertemu dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu, telah berpadu dalam membela syari'at-Mu."
"Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar."
"Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma'rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu. "
"Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.Amin ... "
Acara resmi ditutup. Para aktivis berdiri, berjabat tangan, meninggalkan ruang dengan layanan. Terdengar kebisingan suara sepeda motor dan mobil yang mesinnya dinyalakan. Sepeninggal mereka, tampak panitia sibuk membereskan ruang.
Masa Cepat Bergulir, Hingga di Era 2010-an .....
Para kader berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Harus menyediakan ruang yang sangat besar untuk menampung jumlah tersebut. Ruang kantor Yayasan sudah tidak bisa menampung, ruang pertemuan yang sepuluh tahun lalu digunakan, sekarang sudah tampak terlampau kecil. Harus menyewa gedung pertemuan yang memiliki hall besar agar menampung antusias para aktivis dari berbagai daerah untuk datang.
Para kader berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Mereka datang naik pesawat, berasal dari Aceh sampai Papua. Berseragam rapi, semua mengenakan atribut dan jas berlambang partai. Peserta yang datang dari wilayah setempat datang dengan mobil atau taksi. Semua tampak rapi dan bersih.
Ruang yang besar itu penuh diisi para kader yang datang dari seluruh wilayah.Dakwah telah tersebar sampai ke seluruh penjuru tanah air. Sebagian telah menempati posisi strategis sebagai kantor pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, baik di eksekutif maupun legislatif. Hadir dengan sepenuh keyakinan dan harapan akan adanya perubahan menuju pencerahan.
Berbagai problem dan persoalan diutarakan. Berbagai ketidakpuasan disampaikan. Banyak kritik dilontarkan. Banyak saran dan masukan diungkapkan.Semua berbicara, mengevaluasi diri, mengaca kelemahan dan kekurangan, memetakan arah tujuan, namun tetap dalam bingkai kecintaan dan kasih sayang.Para aktivis sadar bahwa masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan yang harus terus menerus diperbaiki dan dikuatkan. Semua bertekad untuk terus berusaha menyempurnakan.
Sang Qiyadah memberikan taujih dengan sepenuh kehadiran jiwa, "Nabi telah berpesan, bahwa sesungguhnya kalian dimenangkan karena orang-orang lemah di antara kalian. Maka tugas kita adalah selalu memberikan perhatian terhadap masyarakat, terlebih lagi kelompok dhuafa. Termasuk dhuafa di antara kader dakwah. Jangan pernah melupakan kerja para kader yang telah berjuang di pelosok-pelosok daerah. Karena kerja merekalah kita diberikan kemenangan oleh Allah ".
Lugas, tuntas. Buku telah sangat jelas. Acara pun berakhir, ditutup dengan doa.Seorang petugas maju ke mimbar, mengajak semua peserta menghadirkan hati dan jiwa, dengan khusyu 'munajat kepada agar senantiasa diberikan pertolongan dan kekuatan. Doapun dilantunkan:
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah bertemu dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu, telah berpadu dalam membela syari'at-Mu."
"Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar."
"Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma'rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu. "
"Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.Amin ... "
Ternyata, doa Rabithah telah menghiasi perjalanan panjang kami. Handphone melintasi zaman, dengan beragam tantangan, dengan aneka persoalan. Para aktivis selalu setia dengan arah tujuan, bergerak pasti menuju ridha Ilahi. Doa Rabithah tidak pernah lupa dimunajatkan, di waktu pagi dan malam hari.
Kesetiaan telah teruji pada garis waktu yang terus bergerak. Lintasan mihwar membawa para aktivis menuju kesadaran, bahwa kesuksesan adalah keniscayaan, selama isi Doa Rabithah diamalkan, bukan sekedar diucapkan .....
Kabulkan permohonan kami, Ya Allah ....
nDalem Mertosanan - Yogyakarta
3 Desember 2011

Rabu, 02 Mei 2012

Anak Pintar atau Anak Bahagia


Catatan di Tengah Hiruk Pikuk UN
Oleh Haidar Bagir
Sumber: http://www.mizan.com/index.php?fuseaction=plong&id=43
 
Setiap orang tua yang mendapatkan pertanyaan ini, cepat atau lambat akan menjawab: “Anak bahagia.” Tapi, apakah benar anak pintar tak mesti bahagia? Jawabannya, ya. Anak pintar belum tentu bahagia. Bahkan, anak pintar yang tidak memiliki karakter-karakter tertentu, bisa diduga pasti tidak bahagia. Ya, anak bahagia belum tentu pintar. Anak yang memiliki karakter-karakter tertentu, meski tidak pintar, disuga pasti bahagia. Karakter-karakter itu terkait dengan kemampuan menghasilkan emosi-emosi positif, yang biasa disebut dengan emotional intelligence (EI atau EQ).
Jangankan kebahagiaan, kesuksesan saja tak selalu ada hubungannya dengan kepintaran. Suatu penelitian di Harvard University, atas mahasiswa kedokteran, hukum, bisnis, dan keguruan menunjukkan bahwa kesuksesan tak ada hubungannya sama sekali dengan kepintaran -sebagimana diukur dengan IQ.
Daniel Goleman menemukan: “… Kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis... Kompetensi emosional kita menunjukkan berapa banyak potensi kita yang telah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa dipakai saat bekerja.” Clifton dan Rath percaya bahwa emosi positif merupakan kebutuhan penting sehari-hari untuk kelangsungan hidup, dan untuk hidup bahagia.
Tapi, jangan khawatir. Jika dibarengi dengan kepemilikan karakter-karakter tertentu, kepintaran membantu kebahagiaan. Orang pintar yang memiliki karakter-karakter tertentu itu masih punya peluang bahagia lebih besar dibanding yang kurang pintar.
Masalahnya, mendorong anak untuk pintar, dengan cara-cara yang tidak bijaksana (push parenting atau push teaching), bisa menyebabkan anak kehilangan peluang untuk memiliki karakter-karakter yang mendukung kebahagiaan. Kenapa? Karena cara-cara yang tidak bijaksana– menekan, menuntut secara berlebihan, membebani anak dengan kegiatan belajar sehingga merampas waktu luang mereka – demi mengejar kepintaran adalah bertentangan dengan cara-cara untuk mengembangkan karakter yang mendukung kebahagiaan.
Menurut Daniel Goleman lagi, karakter-karakter itu adalah :
     Self Control: Kemampuan untuk mengelola emosi dan impuls yang mengganggu, secara efektif.
     Trustworthiness: Kejujuran dan integritas.
     Conscientiousness: Keteguhan dan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban.
     Adaptability: Fleksibilitas dalam menagani perubahan dan tantangan.
     Innovation: Keterbukaan terhadap ide-ide, pendekatan, dan informasi baru.
Sedangkan menurut psikologi positif (positive psychology), karakter-krakter itu adalah :
   Wisdom and Knowledge: Kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, cinta belajar, kejrnihan perspektif  (dalam melihat segala hal), inovasi.
      Courage: Keberanian, ketekunan, integritas, vitalitas.
      Humanity: Cinta, kebaikan, kecerdasan sosial.
      Justice: Kewarganegaraan, keadilan, kepemimpinan.
      Temperance: Rasa maaf dan kemurahan hati, kerendahan hati, kebijaksanaan, kontrol diri.
  Transcendence: Apresiasi terhadap keindahan dan keluhurnrasa syukur, harapan, humor, spiritualitas.
Sayangnya, terkadang kita harus memilih antara mendorong anak untuk pintar dan mendorong anak untuk memiliki karakter-karakter yang dapat menentukan kebahagiaan mereka. Kita memang perlu waktu banyak untuk menanamkan karakter-karakter ini sampai ia menjadi habit. Lebih dari itu, proses ini membutuhkan penciptaan suasana yang nyaman dan menenteramkan. Bukan tekanan. Sudah pasti suasana seperti ini tak diperoleh dengan terburu-buru dan pemaksaan.   (Sampai di sini kita ingat beban kurikulum di sekolah-sekolah kita yang amat tidak proporsional, dan berbagai jenis penilaian/tes yang tidak tepat-guna)     
Tak kalah pentingnya, kita juga perlu memastikan self esteem (harga diri) anak agar terus terpelihara. Hak ini merupakan syarat utama, bahkan bagian dari tjuan pendidikan untuk menanamkan karakter-karakter ini. Studi dari  Dr. Elizabeth Hurlock menunjukkan pentingnya menerapkan psikologi positif – sebuah aliran psikologi yang percaya bahwa semua manusia berbakat baik dan bahagia -- di sekolah dan keluarga. Mengabaikan atau mengkritik siswa dapat menghambat pendidikan mereka. Emosi positif memungkinkan individu untuk belajar dan bekerja dengan kemampuan mereka yang maksimal.
Dr. Elizabeth Hurlock menyimpulkan hal ini dari studi yang pernah dilakukannya. Ini merupakan studi yang dilakukan terhadap siswa antara kelas empat sampai enam. Studi itu dilakukan untuk melihat bahwa pujian, kritik dan sikap tak acuh guru terhadap kerja siswa bisa berefek pada siswa itu. Untuk percobaan ini sekelompok siswa diminta menyelesaikan soal matematika tertentu dalam beberapa hari. Anak-anak yang mendapat nilai tinggi, dipanggil dan dipuji di depan kelas. Mereka yang dapat nilai buruk, secara terbuka dimarahi di depan kelas. Sedangkan mereka yang dapat nilai sangat buruk, diabaikan. Hasilnya, siswa yang dipuji meningkat dengan 71%, siswa yang dikritik meningkatkan kinerja mereka dengan 19% dan mereka yang diabaikan meningkat sebesar 5%.
Untuk membesarkan anak berkarakter, kita juga perlu memberikan ruang seluas-luasnya untuk mereka untuk berekspresi, dan membuat kesalahan-kesalahan serta belajar darinya. Juga untuk belajar apa yang dia senangi.  Dan untuk bermain-main serta bersosialisasi, agar dapat terus belajar keterampilan sosial. Kita juga perlu memberikan ruang seluas-luasnya bagi mereka untuk aktif dalam berorganisasi, untuk punya waktu cukup menjalani hobinya, untuk belajar agama dan spiritualitas, untuk dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas menolong orang lain, dan untuk dibawa ke tempat orang-orang yang kurang beruntung agar punya rasa syukur dan untuk belajar seni serta mengapresiasi keindahan
Nah, untungnya, emosi positif dapat menular. Sehingga, memiliki orang tua, anggota keluarga, teman, guru, murid, atau siapa saja di dekatnya yang mengemvangkan emosi positif dapat membantu siswa untuk menjadi positif dan bekerja dengan kemampuan mereka yang terbaik. Sebaliknya, jika ada satu saja yang negatif, hal itu dapat merusak seluruh suasana positif dalam suatu lingkungan.
Kesimpulan yang lain, menurut Clifton dan Rath, 99 dari 100 orang lebih suka berada di sekitar orang positif.Mereka percaya bahwa mereka bekerja lebih produktif ketika mereka berada di sekitar orang positif. Memang, seberapa pintar seseorang, hanyalah orang yang memiliki emosi positif yang akan disukai dan dicintai oleh orang lain. Inilah modal utama untuk sukses di mana saja, sekaligus untuk hidup bahagia.
Maka, marilah kita ubah paradigma kita dalam mendidik anak, dan memfokuskan proses pendidikan kepada pemenuhan syarat-syarat untuk bahagia, ketimbang sekadar untuk pintar. Marilah kita menekankan proses pendidikan pada penanaman karakter-karakter positif anak. Mari juga menjadi orang tua yang selalu memfasilitasi suasana yang nyaman bagi anak-anak kita, selalu memelihara harga diri mereka, dan selalu member ruang seluas-luanya bagi anak-anak kita untuk mencoba dan salah. Hanya dari itu semualah, kreativitas bisa lahir. Dan hanya dengan kreativitas, kita bias unggul berharap banyak kebahagiaan hidup menanti anak-anak kita.
Karena, jika bukan kebahagiaan, apalagi yang dicari orang tua untuk anak-anaknya.

Senin, 16 April 2012

Budaya menghakimi dan Menghukumi


Ada satu tulisan  yg ditulis oleh Prof. Rhenald kasali yg diposting di blog Ayah Edi, yang membuat saya tertarik untuk mempostingnya di blog ini. http://ayahkita.blogspot.com/2012/04/budaya-menghakimi-dan-menghukumi-para.html
Selain sebagai pembenaran terhadap apa yg saya lakukan dahulu terhadap anak  saya juga sebagai pencerahan bagi orang tua lain di masa yang akan datang. Saya bercerita sedikit tentang anak saya yg perempuan. Karena ayahnya yg harus pindah tugas ke daerah lain sehingga kami sekeluarga pun mengikuti pindah. Kepindahan ini kemudian mengharuskan anak saya untuk pindah sekolah, yg pada awalnya bersekolah di sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu, kemudian pindah ke sebuah sekolah negeri yang katanya favorite di kota itu. Hari pertama anak saya semangat untuk masuk di sekolah barunya, namun ketika pulang wajahnya sangat sedih dan meminta saya untuk mendampinginya selama di sekolah. Esoknya sayapun mendampinginya, setelah minta idzin kepada gurunya sayapun mendampingi anak saya selama waktu sekolahnya.Singkat kisah selama pindah sekolah di sekolah yg baru anak saya cenderung mengeluh dan tdk suka, terhadap segala hal yg ada di sekolahnya yg baru. Dia sering membandingkannya dg guru dan teman temannya di sekolahnya yg lama. Dan akhirnya puncak dari ketidaksenangannya anak sayapun tdk mau lagi bersekolah. Saya pun kemudian bertanya mengapa dia tak mau bersekolah, katanya  gurunya suka marah dan membentak, temannya tdk ada yg empati dg dirinya...demikianlah akhirnya sayapun memutuskan untuk home schooling untuk anak saya dan tdk menyekolahkannya lagi disekolah tersebut sampai kami pindah kembali ke kota yg lama dan kini anak saya enjoy lagi dg sekolahnya yg lama. Saya mengambil hikmah bahwa sesungguhnya guru dan lingkungan amat mempengaruhi perkembangan jiwa anak anak, sy lebih memilih menyekolahkan anak saya di sebuah sekolah yg memiliki guru dan lingkungan yg ramah terhadap anak-anak ketimbang sekolah yg katanya favorite namun sama sekali tdk ramah terhadap anak anak. Sekolah yg baik menurut saya bukanlah yg memajang piala anak anak yg ratusan jumlah di sekolah namun tak akan dingat lagi oleh para muridnya. Guru yang baik adalah guru yg senantiasa dingat kebaikannya walaupun muridnya sdh tdk bersekolah di sana lagi. Ini lah postingan yg sy ambil dr blog ayah Edy, yang  Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa....Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”“Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.BUDAYA MENGHUKUM Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesiayang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.***Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Adasemacam balas dendam dan kecurigaan.Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.MELAHIRKAN KEHEBATANBisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Rabu, 08 Februari 2012

MEMBENTUK AL-USRAH AL HARAKI

Keluarga haroki (al usrah al haraki) adalah keluarga yang seluruh anggota di dalamnya memiliki komitmen pada dakwah (Islam dalam wujud yang aktif dan dinamis).

Sekali lagi, mereka tak harus selalu atau bahkan (mungkin) jarang yang bergelar “Singa Panggung” atau “Singa Podium”.

Bisa jadi dia justru tidak terkenal, namun aktivitas yang dijalaninya penuh dengan motivasi dan semangat dakwah masuk keluar rumah yang ditemuinya.

Karena medan dakwah yang hakiki bukanlah di mimbar atau di masjid namun pada seluruh lapangan kehidupan. Setidaknya ada lima hal yang dapat dilakukan agar keluarga kita dapat mendekati idealita keluarga haraki.

Pertama, jadikan rumah kita sebagai masjid. Artinya dari sanalah aktivitas ibadah dijalankan dengan sebaik-baiknya. Disana tidak akan terdengar musik-musik lalai yang didendangkan atau acara-acara televisi yang penuh dengan gairah maksiat. Sang ayah adalah Imam yang memimpin keluarganya untuk selalu taat pada Allah.

Kedua, menjadikan rumah sebagai sekolah. Dimana aktivitas menuntut ilmu selalu dikerjakan. Tiap saat adalah waktu untuk belajar. Saat bersenda gurau, ketika malam tiba atau tatkala subuh menjelang. Semuanya adalah saat-saat belajar. 

Ketiga, menjadikan rumah sebagai benteng tempat pengkaderan dan pertahanan utama. Disanalah sang anak dikenalkan pada misi dan tujuan hidup. Semua anggota menggembleng diri menjadi prajurit yang siap tempur. Mereka mempersiapkan diri memiliki seluruh sarana untuk menjadi mujahid sejati. 

Keempat, menjadikan rumah sebagai rumah sakit. Yakni sebagai tempat orang datang untuk mencari kesembuhan. Rumah keluarga haraki selalu disibukkan oleh orang-orang yang mencari obat kebahagiaan akhirat. Ia akan selalu menjadi rujukan masyarakat karena kemanjuran nasehat dan solusi yang dianjurkan atau dikerjakan. 

Kelima, menjadikan rumah sebagai pelabuhan ruhani. Tempat seluruh anggota keluarga mendapatkan kedamaian setelah beraktivitas seharian. Disanalah berdiri sendi-sendi ukhuwah, simpati, rasa social serta ruh keimanan bersemayam. 

Dan terakhir, keluarga haraki selalu berpatokan dan mencoba berjalan pada titian nilai yang telah diwariskan padanya oleh penutup para Nabi, yaitu jalan perjuangan, jalan dakwah yang menyejukkan. WallallahKeluarga haroki (al usrah al haraki) adalah keluarga yang seluruh anggota di dalamnya memiliki komitmen pada dakwah (Islam dalam wujud yang aktif dan dinamis).http://pkspesanggrahan.blogspot.com/2012/02/membentuk-al-usrah-al-haroki.html

Kamis, 26 Januari 2012

Menumbuhkan Kemampuan Menguasai Masyarakat

Penguasaan masyarakat akan sangat tergantung pada tumbuhnya lima jenis kader dakwah sebagai berikut, Pertama, al khotib al jamahiriy , tumbuhnya para khuthoba yang bersemangat, yaitu mereka yang mampu menyampaikan pesan-pesan Islam dengan jelas dan terang, penuh gairah dan dinamika. Para khotib bersemangat muda yang menyampaikan hikmah (pengetahuan) orang-orang tua yang penuh pengalaman (hikmatus syuyukh fi hamasatus syabab). Bukan semangat orang tua dengan pengetahuan pemuda yang dangkal. Para khutoba ini hendaknya mampu melakukan tahridh (pengerahan massa) dan menumbuhkan tahmis (semangat) berdasarkan iman dan pengetahuan bukan emosi dan kebencian. Kedua, al faqih asy sya'biy , orang-orang faqih di tengah masyarakat, yaitu para ulama yang takut pada Allah dan hidup di tengah-tengah masyarakat, memberikan bimbingan dan fatwa-fatwa yang lurus dan benar tentang masalah yang dihadapi masyarakat. Menjadi pendidik dan tempat bertanya yang tidak menimbulkan keraguan dan perpecahan. Selalu menghidupkan toleransi antar mazhab (fikih) yang menjadi titik temu yang mempersatukan ummat. Dari itu ia senantiasa dicintai, didukung dan dibela oleh masyarakatnya. Khotib jamahiriy menjadi pendorong masyarakat ke jalan Alloh sedang faqih sya'biy membimbing masyarakat dalam jalan Alloh. Dia bukan faqih jetset yang memberi fatwa berdasarkan order, tetapi benar-benar menyuarakan pimpinan Allah dan RasulNya. Ketiga, al-Amal atau at ta'awuni al khoiriy , aktifitas kejama'ahan sosial. Tujuan utama dari aktifitas ini adalah memfungsikan masjid-masjid sesuai dengan bimbingan Rasululloh. Untuk itu harus dibuat kerjasama sosial dengan berbagai lapisan masyarakat untuk mendekatkan ummat pada masjid. Sasaran program ini adalah ta'zizud da'iyah, memperkuat para da'i sebagai pelopor di berbagai bidang. Para da'i kita hendaknya didukung sepenuhnya agar mampu menyantuni massa umat sehingga ia memiliki gengsi dan prestise yang tinggi yang membuat umat ikut pada arahannya. Biasanya masyarakat kita sangat patuh bila dakwah dimulai dengan santunan yang memperhatikan kebutuhan mereka. Keempat, masyru 'al iqtishodis sya'biy , menumbuhkan ekonomi masyarakat kecil. Harakah dakwah harus turut meningkatkan taraf ekonomi umat Islam yang pada umumnya masih sangat lemah.Usaha-usaha ekonomi hendaknya usaha yang ringan, mudah dijangkau dan memasyarakat. Berbagai klub, perhimpunan atau organisasi ekonomi kecil perlu ditumbuhkan dan dibimbing oleh para da'i yang sekaligus menjadi pembimbing rohani mereka. Sasaran program ini adalah agar masyarakat pendukung da'wah dapat iktifa 'dzati (mandiri) di satu sisi dan di sisi lain bisa mengendalikan laju ekonomi secara keseluruhan.Kelima, al I'lam as sya'biy , penerangan yang memasyarakat. Potensi I'lam hendaknya tumbuh dari orang-orang yang memahami aqidah, fikrah dan manhaj serta mundhobith (disiplin) kebijaksanaan jama'ah, agar pembentukan ro'yul 'aam (opini umum) sesuai dengan rencana da'wah. Sebab bidang ini merupakan titik rawan amni suatu gerakan da'wah. Pers yang ditumbuhkan dari dalam adalah pers yang murah dan mudah dibaca oleh masyarakat. Bukan penampilan elite yang membuat umat enggan membacanya atau menyedot potensi harakah dalam mengerjakannya. Yang penting bukan nama besar tetapi kemampuan menyebar dan meluas dengan cepat dalam berbagai bentuknya yang ringan; buletin, brosur, informasi, majalah, koran dan aneka bentuk lainnya yang murah dan terjangkau, menyebar dari berbagai sumber dan dikerjakan cukup oleh setiap rumah tangga.Selain itu perlu juga mendukung pers umat Islam yang telah ada agar memiliki ruh dan fikroh Islami. Para pakar jama'ah dakwah hendaknya menyumbangkan tulisan-tulisan bermutu pada pers yang dimiliki umat Islam. Kapan perlu kita mampu menumbuhkan pers kaum muslimin menjadi pers harakah. Yaitu pers yang dikendalikan oleh personil harakah kita. Dalam I'lam Sya'bi perlu pula dimunculkan pendidikan Islam melalui radio-radio, televisi dan sebagainya. Tentu melalui thoriqoh yang mungkin bisa ditempuh dengan tidak meninggalkan unsur-unsur syar'i dalam penyajiannya. [] *) http://al-intima.com/taujih-ust-hilmi-aminuddin/menumbuhkan-kemampuan-menguasai-masyarakat * posted by:Blog PKS Piyungan - Bekerja Untuk Indonesiahttp://www.pkspiyungan.org/2012/01/menumbuhkan-kemampuan-menguasai.html