Rabu, 28 April 2010

DIBALIK KERUDUNG

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita mukmin agar mereka mengulurkan atas diri mereka jilbab mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Ahzab [33]:59)

Ketika Hayrunnisa Gul, istri dari presiden Turkey, Abdullah Gul ditanya dalam sebuah wawancara dengan majalah Time beberapa waktu yang lalu, kenapa ia mengenakan jilbab, ia mengatakan bahwa ia sangat yakin islam mengenal perbedaan antara sebuah ruang ‘private’ dan ruang ‘public’. Yang satu adalah keizinan dari Yang Maha Kuasa untuk diperlihatkan kepada khalayak dan yang satu lagi adalah previlese yg hanya dimiliki oleh muhrim (baca: suami). Dan ketika media tersebut mencecarnya dengan pertanyaan bahwa begitu banyak kaum feminis dan modernis Turkey menentangnya (ia sebagai satu-satunya istri presiden Turkey yang berjilbab sejak Republic of Turkey di deklarasikan oleh Kemal Ataturk), dengan enteng ia menjawab, “Apa yang membungkus tubuh saya tidak sama dengan apa yang membungkus otak saya!” Jawaban ini adalah sebuah suara protes darinya akan sebuah pemahaman bahwa jilbab adalah identik dengan kebodohan, penindasan perempuan dan pengekangan seksualitas.


Suatu saat di belahan negeri barat yang terkenal sebagai sebuah kota fesyen dunia, penulis berada di belantara billboard yang hampir kesemuanya menampilkan gambar wanita yang (maaf) lebih kepada titik-titik tubuh yang dapat membangkitkan fantasi seksual. Demikian juga wanita yang lalu lalang disekitar penulis, hampir semuanya mengenakan rok mini, celana sangat pendek dan tanktop. Hal ini adalah sebuah kehidupan sehari-hari yang suka atau tidak suka selalu dapat dinikmati di kota-kota di barat dan menyebar mendunia. Semuanya adalah demi falsafah hidup dengan jargon kata “MODE” yang sedang melanda.

Bagi barat, Mode adalah ideologi. Tempat dimana kebebasan menemukan muaranya, tempat dimana bisnis dengan jaminan jutaan dollar dapat terus menangguk keuntungan setiap tahunnya. Dan yang pasti ideologi ini selalu menjadikan tubuh wanita sebagai simbol utama sekaligus pasar utamanya pula. Dimana peran kaum pria? Disadari atau tidak, pria adalah penentu arah kebijaksanaan kemana arah ideologi “mode” ini membahana. Bukankah seorang pria hampir pasti selalu berada dibelakang rumah mode dunia seperti Gucci, Louis Vuitton, Prada dll? Sekaligus pria juga berperan sebagai penikmat dan pengamatnya

Hal inilah yang dapat dipahami, ketika wanita-wanita muslim di Perancis makin banyak yang menggunakan jilbab dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka pemerintahnya (dengan dukungan pebisnis mode Perancis) bagaikan kebakaran jenggot sehingga melarang penggunaan kerudung di sekolah dan untuk kemudian melarang penggunaan cadar ditempat-tempat umum. Bukankah Perancis selama ini telah menjadi kiblat mode dunia? Dan yang pasti tidak ingin kehilangan muka sekaligus kehilangan jutaan dollar dari apa yang selama ini telah dinikmati dari binis mode yang mendunia tersebut. Hal ini membawa kepada diciptakannya sebuah perang idelogi untuk membendung penggunaan jilbab dengan memberi stempel pada wanita-wanita muslim yang berjilbab sebagai bentuk kebodohan, pengekangan seksualitas dan penindasan hak-hak kebebasan mereka dalam mengekspresikan diri.

Ada yang amat menarik dari tafsir ayat ke 59 dari surah Al Ahzab diatas. Ayat ini turun pada waktu yang amat kondusif dalam priode Madinah ketika perang Ahzab (Khandak) telah usai (setelah tahun ke-6 H). Priode ini ditandai dengan terusirnya kabilah besar kaum yahudi Madinah dan menjadi sebuah priode yang damai dan tenang. Ayat ini tidaklah turun pada masa priode Mekah yang sangat kacau ataupun diawal-awal priode Madinah yang masih membutuhkan kesabaran dalam membangun sebuah masyarakat yang bermoral dan madani. Dapat kita bayangkan jika penerapan hukum jilbab pada priode Mekah atau di awal priode Madinah akan menjadikannya sebuah keputusan emosional dan jauh dari rasionalitas.

Allah Azza wa Jalla ingin memberi pemahaman kepada kita bahwa jilbab adalah sebuah identitas. Penerapan hukum Jilbab bukan ditentukan dengan dasar emosional dan bukan pula untuk melindungi wanita dari gangguan pria-pria musyrik atau kafir saja tapi lebih kepada identitas yang rasional untuk menyatakan jatidiri dan hak untuk dipandang baik oleh siapapun.

Ayat ini juga tidak seperti ayat-ayat lainnya di dalam Al Quran yang menetapkan hukum dengan mengajak kaum mukmin dengan kata-kata”Ya ayyuhalladzi na ‘amanu” (wahai orang-orang yang beriman) tetapi membebankan hal itu kepada Nabi Saw sebagai pemimpin umat untuk mengajak istri dan anak-anak perempuannya terlebih dahulu untuk menutup diri mereka dengan jilbab dan untuk kemudian mengajak laki-laki mukmin agar melakukan hal yang sama terhadap ‘wanita-wanita’ (tafsir: istri dan anak-anak) mereka. Ini memberi pemahaman kepada kita bahwa ada kondisi psikologis yang harus dimiliki seorang suami/ayah sebelum mengajak istri dan anak-anaknya untuk memakai jilbab. Pria sebagai suami atau ayah harus terlebih dahulu merasakan sebuah kondisi yg kondusif dimana ia sangat menginginkan istri dan anak-anak perempuannya untuk menutup aurat mereka sebagai bentuk ketundukkannya kepada Allah dan mematuhi segala perintah-Nya. Jadi tanggung jawab penerapan jilbab ini sebenarnya ada pada pria (baca: suami atau ayah) bukan pada diri wanita (istri dan anak-anak perempuan).

Seorang teman bercerita ketika ia memutuskan dirinya untuk berjilbab, justru ditentang oleh suaminya sendiri tanpa alasan yang jelas. Yang menyebabkan pada akhirnya mereka sering bertengkar dan membuatnya harus mengalah dengan membuka jilbabnya. Hal ini dapat terjadi karena sang suami belum memahami keadaan dan tanggung jawabnya.

Pada dasarnya ada sebuah keengganan bagi pria untuk melihat istri dan anak-anak perempuannya menutup aurat. Ini lebih disebabkan kepada kondisi kejiwaan. Dalam pikiran seorang pria, wanita adalah sebuah keindahan yang selalu dapat mempengaruhi ‘mood’ sang pria. ‘Mood’ ini bergantung kepada pikiran positif ataupun negatif yang ada dalam benaknya. Ketika pikiran positif yang lebih mendominasi, maka ia lebih melihat pada ‘inner beauty’ sang wanita. Ia tidak lagi memandang apa yang dikenakan ataupun tampilan luar dari wanita yang ada dihadapannya tapi lebih kepada ‘aura’ yang dipancarkan oleh wanita tersebut. 'Inner beauty' yang diwakili oleh kecerdasan, kelembutan dan lain-lain. Tapi jika pikiran negatif yang mendominasi, maka yang selalu muncul adalah tampak luar dari apa yang terlihat dan lebih kepada hubungan nafsu hewani yang berdasar pada hubungan ‘jantan’ dan ‘betina’ yang berpengaruh pada (maaf) fantasi seksualnya.

Al Quran dengan bahasanya yang indah menuturkan ‘AGAR MEREKA MUDAH UNTUK DIKENAL.”

Apa yang menjadikan mereka mudah untuk dikenal......?? Adalah pada dasarnya wanita itu memiliki keindahan dengan segala sifat-sifatnya yang positif seperti kelembutan dan kecerdasan. Allah Azza wa Jalla menginginkan hendaklah sifat-sifat ini yang terpancar dari seorang wanita setiap saat. Jika seorang wanita menutup auratnya, maka aura yang terpancar pada dirinya lebih kepada yang bersifat positif sehingga kesan yang timbul adalah baik. Hal ini berbeda jika wanita menonjolkan sisi sensualitasnya maka bisa jadi yang tercermin adalah penonjolan titik-titik tubuh yang dapat membangkitkan fantasi seksual pria. Karena bisa jadi apa terlihat adalah bagai sebuah aura negatif yang bagi pria dapat dijadikan ‘bahan godaan’. Dalam hal ini Al Quran memakai kata-kata “SEHINGGA MEREKA TIDAK DIGANGGU”

Seorang Feminis berkebangsaan Amerika yang bernama Naomi Wolf yang beragama yahudi dalam sebuah artikelnya di sebuah majalah wanita di Amerika pernah menulis, “Saya mengalaminya sendiri. Saya mengenakan jilbab yang serba menutup tubuh saya (kecuali muka dan tangan) dalam sebuah kunjungan ke pasar tradisional Maroko. Memang, sejumlah kehangatan yang saya peroleh dari setiap padangan yang diarahkan kepada saya mungkin berasal dari rasa takjub menyaksikan seorang wanita barat mengenakan pakaian tertutup seperti itu. Namun begitu saya terus berjalan dipasar, disaat belahan dada saya tertutup, bentuk kaki saya tersamar dan rambut panjang saya tidak berkibar, saya menikmati sebuah perasaan nyaman dan tenteram. Saya merasa merdeka (dari rasa was-was) dalam cara tertentu.”

Wolf melanjutkan: “Banyak perempuan muslim yang saya ajak bicara tidak merasa tertindas oleh cadar dan kerudung. Sebaliknya mereka merasa terbebas dari penindasan kaum pria yang dalam budaya Barat menjadikan perempuan sebagai komoditas seksual. Mereka mengatakan, “Ketika saya mengenakan pakaian ala Barat, pria menatap saya, menjadikan saya sebagai obyek, sehingga saya terpaksa membandingkan diri saya dengan standar model di majalah, yang susah sekali disamai. Dan itu akan semakin sulit ketika anda menjadi semakin tua. Semakin melelahkan untuk berusaha menjadi pajangan yang dinilai indah sepanjang hari. Ketika saya mengenakan kerudung atau cadar, orang memandang saya sebagai individu, bukan obyek. Saya merasa dihargai.”

Dalam pandangan Allah Azza wa Jalla, sebuah masyarakat yang baik itu dimulai dari pribadi-pribadi yang baik. Sehingga pribadi-pribadi yang baik inilah kelak akan membentuk sebuah rumah tangga yang menjadi cikal bakal sebuah masyarakat yang bermoral dan madani. Pakaian bagi seorang muslimah adalah sebuah identitas yang membatasi antara ranah ‘public’ dari ranah ‘private.’ Ketika seksualitas dibiarkan berada dalam wilayah pribadi dan diarahkan dalam cara yang menjadikannya suci, hal ini menyebabkan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Ketika sang suami terjaga dari melihat wanita lain dengan aurat yang terbuka sepanjang hari, maka yang terjadi adalah hasrat dan intensitas yang dahsyat ketika kerudung sang istri dilepaskan di rumah yang mewakili ranah ‘private’. Ketika sexualitas sudah menjadi sebuah komoditas sehari-hari (baca: public) maka apa yang terjadi adalah menurunnya libido dan segala penyakit sexual yang menyertainya.

Dalam sebuah pertemuan dengan para sahabat nya, Rasulullah Saw berpesan, “Sesungguhnya dunia ini indah dan mempesonakan, dan sesungguhnya Allah menyerahkannya kepada kalian. Kemudian Allah akan melihat bagaimana kalian berbuat atas dunia ini. Karena itu berhati-hatilah dalam urusan dunia dan terhadap wanita.” (HR Muslim)


Wallahu a'lam Bissawab