Senin, 07 Juni 2010

Mengapa anak-anak sering membantah

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) di 15 propinsi 32 kota di Indonesia

Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.



Judul di atas sungguh menggelitik saya. Pertanyaan ini diajukan oleh seorang ayah pada saya di forum “yuk-jadi orangtua shalih”. Benarkah anak sekarang lebih sering membantah orangtua daripada anak jaman dulu?

Sebenarnya, sikap membantah anak pada orangtua adalah hal yang tak dapat dihindari, baik jaman dulu maupun sekarang. Apakah anak sekarang lebih sering membantah daripada anak jaman dulu? Ini perlu pembuktian lebih lanjut. Mungkin perlu wawancara yang melibatkan banyak orangtua melalui sebuah penelitian yang terukur. Tetapi, bahwa anak jaman dulu dan sekarang juga pernah membantah orangtua, adalah hal yang tak dapat dihindarkan.

Mengapa saya katakan tak dapat dihindarkan? Pertama, karena orangtua dan anak memiliki ‘pikiran’ masing-masing. Pikiran ‘tua’ dan ‘muda’ dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan keinginan, harapan hingga cara mewujudkan harapan dan keinginan tersebut. Kedua, meski kadang ada irisan, kemiripan karakter, tak dapat dipungkiri setiap manusia memiliki karakter uniknya masing-masing. Anak kembar pun yang memiliki kemiripan wajah, dapat memiliki perbedaan besar dalam karakternya. Apalagi orangtua dan anak. Dalam batas tertentu, sebenarnya adalah sebuah kewajaran jika terdapat perbedaan karakter orangtua dan anak. Sekali lagi, sepanjang karakter ini tidak negatif, wajar saja anak dan orangtua memiliki perbedaan karakter.

Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian dapat menjadi ‘peluang’ adanya pertentangan anak-orangtua. Saat anak merasa tak nyaman dengan ‘keinginan, harapan dan cara orangtua mewujudkan keinginan dan harapan tersebut—meski sebenarnya tujuan baik untuk anak’, inilah yang kadang membuat sebagian orangtua kemudian menganggapnya sebagai sikap pembangkangan anak pada orangtua.

Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.

Tetapi jika orangtua selalu berusaha ‘menyamakan’ anaknya dengan diriya dan selalu berusaha membuat anak agar seperti dirinya di masa lalu, perbedaan-perbedaan ini akan makin besar dan dapat mengarah pada anggapan bahwa anaknya ‘membangkang dan membantah’ dirinya. Sikap orangtua yang tak tepat inilah yang kemudian juga menyebabkan orangtua tak nyaman memiliki ‘anak seperti ini’, anak pun sebelas dua belas merasa tak nyaman memiliki ‘orangtua seperti itu’.

Kunci besarnya adalah ada pada kerendahan hati orangtua untuk memahami anaknya. Tak sedikit orangtua bertemu setiap hari dengan anaknya tapi tak mengenal anaknya. Sebagian besar orangtua mungkin mengerti kenakalan anaknya, tapi belum tentu sangat faham dengan kelebihan anaknya. Pemahaman yang tepat tentang anak inilah yang akan menentukan ‘persepsi’ yang tepat pula pada anak dan akhirnya tindakan dan perlakuan pada anak insya Allah juga akan tepat.

Jika orangtua mau rendah hati untuk terus belajar memahami anaknya, bisa jadi ada banyak perbuatan anak yang harusnya dibiarkan, tetapi malah ‘ditahan’. Padahal sebenarnya anak tengah bergairah dengan perbuatan tersebut. Akibatnya, anak jadi ‘terjebak’ untuk ‘membantah’ atau ‘membangkang’ orangtua.

Ilustrasi sederhana saya lakukan saat para peserta PSPA melakukan sebuah permainan sederhana dengan tali. Mereka diberikan tantangan permainan dengan tali tersebut. Saat waktunya habis dan lalu saya katakan ‘sudah berhenti ayah bunda’. Anda tau? Ternyata tak mudah bagi sebagian orangtua ini untuk langsung ‘patuh’ berhenti pada apa yang saya katakan. Mereka masih ‘khusyuk’ dan masih ‘istiqomah’ dengan permainannya.

Saya lalu bertanya pada para peserta dan sengaja dengan guyon menirukan kalimat yang sering dilontarkan sebagian orangtua pada anak: “Mengapa sih kalian ini susah dibilangin? Harus berapa kali ABAH bilang, dibilang berhenti ya berhenti! Telinganya disimpan dimana? Kenapa sih membangkang?!”

“Habis lagi asyik abah!” jawab sebagain peserta. “Yeee ABAH jangan marah-marah gitu dong!”, celetuk yang lain tertawa. “Kalau penasaran ya susah berhenti!”

Tahukah ayah bunda? Anak Anda pun demikian. Pada kasus tertentu, sebenarnya mereka tak bermaksud membantah atau membangkang orangtua. Tapi karena orangtua tak memahami konteks dan situasi yang melingkupi anak dan lalu memaksakan ‘perintah’ tertentu pada, padahal anak tengah asyik masyuk, menyebabkan anak mengalami ‘pertentangan dalam pikirannya sendiri’: mau teruskan permainan atau nurut ayah bunda dulu?

Saat anak-anak kita yang berusia 9 tahun misalnya tengah bermain drama dan sangat asyik dengan teman-temannya. Lalu tiba-tiba orangtua memanggilnya ‘Reniiii beliiin ibu gula merah ke warung sebentar….’. Apa yang akan anak rasakan?!

Jangan dikira anak nyaman dengan situasi ini. Mau diteruskan, ketinggalan acara! Tidak diteruskan, bunda akan anggap aku tak patuh! Repot kan jadi anak jika punya orangtua tak memahami ini?

Makin besar anak makin banyak pula perbedaan harapan, keinginan dan cara mewujudkan harapan serta keinginan tersebut. Saat perbedaan ini tak ‘dikompromikan’, akibatnya anak menganggap orangtua ‘tak mengerti perasaan anak (egois)’ dan orangtua pun menganggap anaknya semakin membangkang.

Lepas dari bahasan tadi, sebagian anak memang ada yang membangkang dan sering membantah betulan (dalam artian negatif). Bukan sekadar karena perbedaan keinginan, harapan dan cara mewujudkan harapan keinginan tersebut, tetapi karena memang sikap buruk yang muncul pada diri anak.

Ada banyak penyebab sikap buruk anak yang membantah atau membangkang ini muncul. Sebagain besar penyebabnya justru bukan karena anaknya yang memang dilahirkan membangkang, tetapi karena sikap dan perilaku orangtua sendiri yang membentuknya secara tidak sengaja. Ingat, tak satu pun anak berniat di kepalanya ketika lahir untuk membangkang orangtuanya.

Ketidakkonsistenan orangtua adalah sebab utama pertama. Ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan orantua itu sendiri menyebabkan kredibilitas orangtua di mata anak ‘jatuh’. Bagaimana mungkin anak akan mempercayai perkataan orantua sementara jika sikap/perilaku orangtua tak sesuai dengan perkataannya! Saat Anda mengatakan ‘mulai besok nonton tv-nya satu jam aja ya’. Lalu pada saat ‘besok’ ternyata anak menangis dan lalu orangtua membiarkan anak nonton lebih dari satu jam, karena anak menangis atau ngambek, maka sejak saat itulah ‘pembangkangan’ anak akan makin sering muncul.

Maka yang diperlukan orangtua adalah ketegasan, ketegasan dan ketegasan. Ketegasan tidaklah identik dengan kekerasan. Jika Anda tegas dari awal, maka sebenarnya Anda pun akan terhindar dari banyak menghukum anak. Ketegasan tidaklah diukur dari seberapa besar volume teriakan Anda pada anak. Anda bisa tegas pada anak bahkan dengan sambil senyum.

Anda boleh sayang pada anak dan bertindak lembut pada anak. Tetapi, sayang dan lembut pada anak tidak berarti Anda lembek pada anak dan selalu mengalah karena anak menangis, protes dan marah. Anak protes, menangis dan marah adalah hal biasa saat ia mengalami kecewa. Jika Anda menyerah karena anak nangis, protes dan marah, maka siap-siaplah Anda akan dikendalikan oleh anak. Ini berbahaya buat masa depan anak sendiri. Tidak semua keinginan anak harus Anda dipenuhi. Anda boleh menolaknya dan bahkan justru pada sebagian tertentu wajib menolaknya. Jika tidak, akan bertindak dan terus mengendalikan Anda secara berlebihan.

Sebab paling sering kedua adalah tidak adanya keakraban antara orangtua dengan anak. Secara alamiah, dalam situasi normal, kita akan lebih ‘mendengar’ perkataan orang yang kita kenal dibandingkan orang tidak kita kenal bukan? Lalu kita pun akan lebih ‘mendengar’ perkataan orang yang akrab dengan kita, dibandingkan dengan perkataan orang yang hanya ‘dikenal’ kita. Ketidakakraban orangtua-anak dapat menyebabkan orangtua kurang ‘mendengar’ anak dan akhirnya anak pun kurang ‘menerima’ pesan orangtua.

Mengapa sebagian orangtua kurang akrab dengan anaknya? Sebagian besar orangtua hari ini 'sibuk' dengan urusan 'orangtua' sendiri. Semakin kompetisi kehidupan ketat, semakin menyebabkan orangtua harus bekerja ekstra keras untuk ‘hidup’. Ini menyebabkan sebagian orangtua harus banting tulang pergi pagi pulang malam.

Jaman dulu, orangtua cuma siang doang ke ladang.. pagi dan sore sudah ada di rumah untuk 'ngobrol' sama anak. Apalagi jaman dulu, benda-benda hiburan buatan manusia masih jarang, seperti televisi.

Hari ini, banyak anak 'terlantar' meski orangtuanya lengkap. Terlantar secara emosional. Sebagian anak jadi 'yatim piatu' pada saat orangtuanya lengkap. Jarang bicara dengan anak, hanya bicara kepada anak. Jarang mendengar curhat anak, seringnya menasihati anak. Orangtua watunya sangat tersita dan sibuk dengan pekerjaan. Judulnya demi meraih masa depan: mencapai quadran keempat, mencapai cita-cita financial freedom sehingga bisa pensiun dini dan akhirnya memiliki banyak waktu untuk anak—agar akrab dengan anak. Sayangnya dengan mengabaikan anak hari ini justru cita-cita untuk akrab dengan anak saat penisun dini tidak tercapai karena anaknya keburu ‘jauh’ secara emosional dengan orangtua.

Apalagi, orangtua hari ini memiliki saingan baru: televisi. Saat semua anggota keluarga sudah di rumah, eh yang diselami isi tayangan televisi, bukan perasaan-perasan antar anggota keluarga. Meski katanya ‘lelah dan capek’ habis bekerja seharian, ternyata tak sedikit orangtua masih memiliki waktu untuk ‘menengok’ televisi dan menyelami perasaan bintang-bintang televisi saat acting dibandingkan ‘menengok’ anak dan menyelami perasaan-perasaan anak.

Belum lagi, keterbukaan informasi menyebabkan anak-anak sekarang memiliki akses data dan informasi lebih banyak daripada anak jaman dulu. Dengan sendirinya, pengalaman orangtua akan menjadi ‘kredibilitas’ tak terbantahkan untuk anak-anak jaman dulu. Dengan sendirinya kultur patron-klien terbentuk secara alamiah. Maka, tak heran anak-anak jaman dulu lihat muka orangtua saja sudah segan. Anak jaman sekarang? Wehhh belum tentu demikian.

Perkataan orangtua di jaman dulu hampir tak bisa dibantah karena orangtua memang cenderung memiliki bahan data lebih banyak daripada anak-anaknya saat berargumen karena pengalaman hidupnya mereka lebih banyak. Sedangkan anak-anak sekarang juga memiliki akses data dan informasi yang sama dengan orangtuanya, sehingga katakanlah anak sekarang memiliki lebih banyak lagi ragam pilihan informasi. Ini mungkin yang menyebabkan anak sekarang lebih mudah dapat ‘berbeda’ dengan orangtuanya dan akhirnya jika cara mengekspresikan perbedaaan ini tidak tepat dianggap sebagai ‘bantahan’ anak pada orangtua.

Jika demikian, anak jaman sekarang lebih sering membantah dan membangkang daripada anak jaman dulu, bisa jadi betul adanya. Kesediaan orangtua untuk meluangkan setidaknya 2,5% waktu 24 jam mereka untuk anak sehingga memiliki peluang untuk menjadi lebih akrab dengan anak, lalu konsisten (tegas) dalam perkataan, sikap dan perbatan, insya Allah akan menjadi modal penting bagi anak-anak kita untuk lebih mendengar perkataan-perkataan baik dari kita. **

(Diperkenankan untuk menyalin dan menyebarkan tulisan ini dengan tetap menyebutkan sumbernya secara utuh)

Pusing dengan anak manja?

Pusing dengan Anak Manja?
Bagikan
23 April 2010 jam 7:28
Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA)

Pusing dengan anak manja? Sedikit-sedikit mama, sedikit-sedikit menangis, sedikit-sedikit merengek pada orangtua. Ini beberapa hal yang dapat Anda lakukan:

1. Ketahuilah bahwa sikap dan perilaku apapun anak itu sebagian besar dibentuk atas respon-respon dan perlakuan orang dewasa yang diberikan kepadanya. Termasuk sikap manja, itu dibentuk atas perlakuan Anda pada anak.

2. Periksalah, bagaimana Anda dibesarkan? Jika Anda termasuk dibesarkan dengan dimanjakan kemungkinan untuk memanjakan anak juga akan diwariskan saat Anda memiliki anak atau saat Anda dididik dengan keras dan penuh tekanan, saat Anda punya anak, Anda merasa tidak ingin diterapkan pada anak dan lalu melakukan tindakan terbalik: memanjakan anak. Karena itu yang perlu Anda sadari, sejarah masa lalu yang telah dilalui bukanlah alasan untuk memanjakan anak. Mungkin Anda merasa fobia terhadap sesuatu atau khawatir berlebihan pada anak sehingga membuat Anda tak berani tegas pada anak.

3. Ketahuilah bahwa sayang sama anak itu wajib! Tapi, sayang sama anak bukanlah lembek pada anak. Sayang sama anak bukanlah Anda menuruti semua keinginan anak, apalagi dikendalikan anak. Anda boleh menuruti keinginan anak asal tidak berlebihan. Sebaiknya, setiap keinginan anak: beli mainan, boneka, buku, gitar, sepeda, motor dan lain-lain direncakan dan dijadwal terlebih dahulu. Akan lebih baik jika Anda memberi tantangan pada anak untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan agar anak bisa memiliki daya juang.

Adalah berbahaya hanya karena Anda ingin anak senang dan karena Anda punya uang banyak, atau karena Anda merasa berdosa karena meninggalkan anak seharian bekerja, atau karena Anda termasuk yang ‘menderita’ secara ekonomi di masa lalu, lalu Anda memfasilitasi anak selengkap-lengkapnya dengan berbagai fasilitas yang memanjakan anak: anak SD diberi uang saku ratusan ribu per hari, diberikan hp blackberry, anak SMA diberikan mobil sport, dll.

Anak-anak ini bisa menderita di masa depan saat orangtuanya tidak lagi disamping mereka, sedangkan mereka terbiasa bergantung pada orangtua dan dibiasakan secara instan mendapatkan keinginan mereka dari orangtua mereka. Padahal, saat orangtua tidak ada, mereka ternyata harus menghadapi tantangan-tangan kehidupan yang demikian kompetitif yang membutuhkan daya juang.

4. Jika anak merengek meminta perhatian, alihkan perhatiannya dengan yang lain. Anak usia tertentu, gampang menangis, tapi sebenarnya gampang berhenti jika orangtua cepat mengalihkan perhatiannya.

5. Ajarkan anak cara bergaul yang baik. Misalnya, dengan mengajarkan anak kita meminjamkan barang yang diperlukan oleh temannya.

6. Berikan pelukan kasih sayang dan kata-kata yang membuat dirinya tenang tapi tetap dengan menjaga ketegasan. Adalah hal yang biasa jika anak kemudian kecewa, menangis, rewel karena keinginannya tidak dipenuhi. Ketegasan dan konsistensi adalah kunci untuk menjaga anak tak bermanja berlebihan.

7. Saat keinginan anak bermanja secara tiba-tiba meningkat dan nampak dengan jelas ada reaksi pada waktu-waktu tertentu. Berikanlah waktu khusus untuk memenuhi kebutuhan ‘perhatian’ itu secara berangsur-angsur. Jadi lakukan perubahan secara bertahap.
Diperbarui sekitar sebulan yang lalu · Komentari · SukaTidak Suka · Laporkan Catatan

Pola Asuh Orang Keturunan

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA)

Seorang Ibu bertanya “Abah, mau tanya nih pola asuh seperti apa si yang diterapkan teman-teman kita orang tionghoa pada anak-anaknya? Apa yang seperti PSPA terapkan? Keliatan banget anak-anak mereka cerdas-cerdas sejak kecil. Di sekolah pun mereka selalu juara, apapun bisa mereka kuasai. Lain banget sama anak-anak kita ini. Padahal urusan anak semua diserahkan kepada pembantu. Mereka sibuk mencari uang dari pagi sampai malam”.

Silahkan pelajari dengan seksama, tak ada stereotype rendah yang saya kemukakan di tulisan ini. Tulisan ini saya buat untuk menanggapi pertanyaan dan sekaligus pernyataan seorang Bunda tadi. Tulisan ini juga tidak bermaksud mengungkap sejarah tionghoa di Indonesia tetapi bermaksud menyinggung pola asuh yang diterapkan oleh orang tionghoa di Indonesia.

Ayah Ibu, sebenarnya bagaimana seseorang dapat menjadi cerdas, pintar, juara, sukses, kaya dan bahkan bahagia tidak ada hubungannya dengan latar belakang kesukuan atau etnis mereka. Kondisi-kondisi pendukungnyalah yang akan membuat seseorang dapat seperti yang disebutkan tadi atau tidak.

Pertanyaan dan juga pernyataan ibu ini sebenarnya hanya generalisasi. Pada kenyataannya, tidak semua orang tionghoa dan keturunannya termasuk yang di Indonesia seperti yang dikatakan ibu tadi. Tidak semua anak-anak keturunan juara sejak kecil atau cerdas (akademik) sejak kecil, tidak semua mereka bisa menguasai banyak hal.

Singkatnya, menjadi sukses, lepas dari ukuran suksesnya (kekayaan, intelektual, jabatan, kedudukan), menjadi cerdas (intelektual, emosional, spiritual), menjadi bahagia tidak ada hubungannya dengan sukunya apa atau etnisnya apa. Mau dia orang Tionghoa kek, Melayu, India, Jepang, Korea, Spanyol, Prancis, Inggris, Amerika atau Batak, Aceh, Jawa, Papua, Sunda, semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk menuju ke arah yang saya bicarakan tersebut.

Jika pun sebagian kita melihat teman-teman kita yang keturunan terlihat sebagiannya sukses, sebenarnya hanya penilaian sekilas. Tidak semua dari mereka seperti yang kita kira. Jika pun ya, bukanlah karena etnis mereka yang membuat mereka seperti tersebut. Kondisi-kondisi pendukungnyalah yang membuat sebagian teman-teman kita yang keturunanan ini hadir di sekitar kita seperti terlihat kaya, sukses, cerdas, juara atau apapun hal positif yang disebutkan tadi. Kondisi pedukung ini bisa berbentuk karakter sebagian mereka yang memang baik dan kondisi lingkungan yang membuat mereka harus ‘survive’ lebih baik.

Saya katakan sebagian karena memang pada kenyataannya tidak semuanya seperti itu. Sebagai contoh saat saya SMA dan kuliah, memang saya memiliki beberapa teman keturunan yang prestasi akademik menonjol, tetapi lebih banyak yang sebenarnya biasa-biasa saja. Memang sebagian yang juara orang Olimpiade sains, matematika dan seterusnya adalah anak-anak keturunan Tionghoa. Tetapi dari orang-orang Jawa, bahkan Papua pun pernah ada bukan?

Di Bandung, saat saya berbelanja ke sebuah toko yang orang keturunan banyak yang menjadi pedagang di sana, saya pernah mendapati seorang ibu keturunan berusia 40 tahunan berjualan gorengan, hanya menenteng plastik keliling dari satu toko ke toko lainnya dengan beralaskan sendal jepit dan baju sederhana. Saya dapat memastikan bahwa ibu ini adalah orang keturunan dari penampilan fisik dan juga setelah memperhatikan beliau berinteraksi dengan teman-teman keturunan yang lainnya yang sesekali menggunakan bahasa mandarin.

Atau jika mau lebih ‘kelihatan’ silahkan bermain-main ke daerah Kalimantan Barat seperti Singkawang. Kita akan mendapati bukan hanya satu dua tapi banyak dari mereka yang dari segi ekonomi, pendidikan, dan lain-lain seperti orang Indonesia kebanyakan. Beberapa mereka juga adalah petani miskin.

Atau mungin Anda pernah mendengar istilah orang Cina Benteng (Chiben)? Cina Benteng adalah sebutan untuk orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah Tangerang. Orang Tionghoa yang disebut Cina Benteng ini secara ekonomi sebagiannya hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil dan pedagang kecil. Mereka bahkan juga pernah menghadapi penggusuran.



Potret kehidupan masyarakat Chiben

Jadi, sekali lagi, tidak semua teman-teman kita Tionghoa seperti yang kita kira: semuanya kaya, semuanya cerdas, semuanya juara. Mereka adalah manusia biasa, seperti kita yang bisa sukses atau tidak sukses, bukan karena ditentukan matanya sipit atau tidak, kulit kuning atau hitam, tetapi karena perilaku positif yang membuat siapapun dapat menuju kea rah tersebut dan perilaku itu dibentuk oleh gabungan banyak hal: kemauan, kesempatan, kemampuan, karakter positif dan banyak kondisi-kondisi pendukung lainnya.

Memang, kita akui, sebagian mereka setelah dewasa ternyata menjadi pedagang-pedagang hebat. Tapi, banyak dari kita pun juga yang bisa menjelma menjadi pedagang hebat. Orang-orang keturunan Arab, sebagian adalah pedagang hebat di bidang meubeul. Orang-orang keturunan India sebagian adalah pedagang hebat di bidang tekstil. Jika pun teman-teman kita yang Tionghoa lebih banyak yang jadi pedagang hebat dan sebagian besar orang-orang terkaya di Indonesia adalah orang keturunan Tionghoa, sekali lagi bukanlah karena Tionghoanya, itu pun tidak datang dengan sendirinya.

Tentu ada banyak jawaban untuk menanggapi hal tersebut, silahkan Anda tambahkan sendiri. Setidaknya menurut subyektivitas saya beberapa diantara: Pertama, kenapa sebagian anak-anak keturunan etnis Tionghoa bisa menjadi kaya raya? karena mereka mewarisi bisnis orang tuanya, mulai dari yang trilyunan sampai yang kelas kelontong, yang telah berjalan bertahun-tahun dan tak perlu merintis sebuah bisnis dari nol lagi.

Kedua, leluhur-leluhur mereka yang datang ke Indonesia dan juga yang ada di belahan dunia lainnya adalah orang-orang ‘perantau’ yang menyebrang lautan dan bahkan samudera. Menyitir teori Mestakung (semesta mendukung)-nya, Prof. Yohanes Surya, mereka dalam kondisi yang dipaksa ‘susah’, tapi akibat susah itulah mereka kemudian memiliki kekuatan mental yang terbina dengan baik.

Itu sebabnya mungkin negara-negara maju sebagian besar adalah negara yang berada di dunia belahan Utara. Hanya sedikit yang secara geografis berada di belahan tengah (khatulistiwa) atau selatan.

Orang-orang yang hidup negeri-negeri di belahan utara berada di wilayah dengan 4 musim, untuk sekedar bertahan hidup saja alam mengharuskan mereka berjuang lebih keras dibanding orang yg hidupnya disekitar katulistiwa (saya ingat dengan gambaran ini sedikitnya misalnya bisa dilihat dari Film Oshin).

Disekitar katulistiwa, pohon hijau 365 hari setahun, menghasilkan bermacam macam buah silih berganti. Untuk mendapatkan ikan dari sungai dan laut tidak sesulit ditempat yg sedang mengalami musim dingin. Mudahnya hidup disekitar katulistiwa menyebabkan penghuninya tidak perlu berjuang keras untuk hidup, tidak perlu memikirkan bagaimana menyimpan makanan ketika tanah tertutup es, menyebabkan mereka jadi tidak setangguh orang yg hidup ditempat dengan 4 musim.

Bayangkan, kentang sebagai bahan makanan pokok disana, kalau digali dimusim dingin, sudah menggalinya susah, kentangnya juga sekeras batu! Seharusnya, orang-orang di belahan Khatulistiwa dengan kekayaan alamnya, bisa lebih makmur dari belahan dunia lainnya, tapi lagi-lagi dari belahan lainnya. Tapi lagi-lagi akibat dari karakter yang tak dibina, membuat mereka akhirnya hanya jadi ‘pasar’ untuk negera-negara lainnya.

Ketiga, posisi mereka yang minoritas di Indonesi atau di Negara-negara lainnya di luar China, mampu membangkitkan premordialisme yang tinggi. Ini juga terjadi dengan etnis lainnya. Tak sedikit saat saya berjumpa dengan sesama orang Sunda di daerah lain, perasaan seperti ‘bersaudara’ begitu saja tumbuh. Jika perantau Sunda ini bertemu lagi dengan perantau sunda lainnya, akhirnya primodialisme positif ini membentuk ikatan-ikatan lainnya: saling membantu, saling memberikan akses dan lainnya.

Begitu juga dengan orang-orang Tionghoa di Indonesia, tidak lepas dari kesamaan mereka yang mewarisi tradisi budaya super yaitu Cina. Ini kemudian dikaitkan dengan sifat-sifat tradisi budaya itu untuk bersikap hemat, kerja keras, mengutamakan pendidikan, persatuan dan saling membantu, bahkan ditekankan kembali Confucianisme sebagai etos pengikat orang-orang Tionghoa yang asalnya memang dari Cina.

Mungkin bedanya dengan etnis lainnya yang merantau, orang-orang Tionghoa ikatan primordial mereka lebih terlembagakan. Bahkan tak berlebihan jika kemajuan ekonomi Negara China hari ini juga adalah akibat kontribusi orang-orang China perantauan. Mari kita kutip artikel dari Indonesianvoices.com:

Menurut kajian Sterling, yang dituangkan dalam bukunya ‘Lords of the Rims’, pada tahun 1990 ada 55 juta orang Cina Perantauan atau “China Overseas”. Mereka umumnya berasal dari Cina Selatan (pesisir). Jumlah mereka ini hanya 4 persen dari total bangsa Cina Daratan 1,2 milyar. Namun jika seluruh kekuatan ekonominya digabung dengan lintas batas-batas negara, maka seluruh nilai kekayaan Cina Perantauan berjumlah AS $ 450 milyar. Angka ini adalah 35 persen lebih besar dari jumlah GNP negeri Cina tahun 1990!

Para taipan bisnis Cina Perantauan berandil besar membentuk semacam kongsi bisnis yang melewati batas-batas negara namun saling menjalin usaha bisnis yang saling menyokong antar sesamanya. Jalinan sistem finansial kaum Cina Perantauan ini terbentang di pusat-pusat keuangan dunia di seputar wilayah Samudera Pasifik mulai dari Vancouver Canada, Los Angeles USA, Hong Kong, Taipei, Singapore sampai dengan negara ASEAN termasuk Indonesia.Sederetan nama tersohor di antara pebisnis kaya raya seperti Li Ka Shing di Hongkong dan Lim Soei Liong di Indonesia sempat pernah menjadi peringkat atas orang terkaya tidak hanya di Asia Pasifik namun di dunia pada dekade 1990-an.

Sekali lagi, bedanya dengan etnis lainnya, ikatan primordial orang Tionghoa ini lebih terlembagakan. Misalnya pada Agustus 1991 Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew pernahh mengadakan Konvensi Cina Sedunia di Singapura untuk mengumpulkan pengusaha-pengusaha Cina Perantauan dari seluruh dunia. Konvensi ini dihadiri 800 pengusaha besar Cina yang datang dari 30 negara termasuk dari Indonesia.

Konvensi ini bertujuan untuk “membentuk jaringan kerja sama ekonomi masyarakat bisnis internasional Cina untuk memanfaatkan berbagai peluang bisnis”.Pertemuan ini mampu membangkitkan premordialisme para pengusaha Cina bahwa keberhasilan mereka dalam bidang ekonomi tidak lepas dari kesamaan mereka yang mewarisi tradisi budaya super yaitu Cina.

Konvensi ini kemudian disusul dengan konvensi serupa yang diadakan di Hongkong pada bulan November 1993 yang dihadiri 1000 pengusaha besar Cina dari seluruh dunia. Indonesia diwakili 40 konglomerat non-keturunan Cina. Jauh sebelum itu, pemerintah Cina pada tahun 1949 mendirikan Departemen Komisi Tionghoa Perantauan dan memberikan 30 kursi di Kongres Rakyat Cina untuk wakil-wakil Tionghoa Perantauan termasuk wakil-wakil dari Indonesia. (Baca lebih lengkap di sini:http://indonesianvoices.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10 6:mengapa-para-touke-china-sukses-berdagang-di-berbagai-penjuru-dunia&catid=1:latest-news&Itemid=50).

Orang-orang Tionghoa kebanyakan di Indonesia mungkin juga tak memahami hal ini. Tetapi, bahwa ikatan primordial mereka tak sengaja kemudian menjadi salah satu ‘kekuatan’ mereka, bagi saya benar adanya. Tapi sekali lagi, bukan karena Tionghoanya, tetapi karena memang sesuatu yang wajar saja saat kita di perantauan lalu bertemu dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama kemudian terjadi hubungan dan ikatan lebih sesamanya. Seperti orang-orang keturunan Yahudi di banyak belahan dunia yang membentuk banyak jaringan internasional untuk menyokong Negara mereka. Pertanyaannya, kenapa kita tidak mengikutinya? Silahkan Anda cari sendiri jawabannya.
Keempat, mereka dan anak-anaknya mereka latih untuk berinvestasi dan bisnis (dagang) dari kecil. Ini juga sebenarnya ‘dipaksa’ oleh kondisi. Waktu jaman Orde Baru, karena ketakutan terhadap ideologi komunis (China), pemerintah yang didukung oleh negara-negara Barat (ideologi kaplitas) kemudian dan membuat aturan-aturan yang cenderung diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa. Coba berapa banyak dari orang Tionghoa di Indonesia yang menjadi PNS? Lurah? Camat? Tertutup sudah!

Tetapi ini justru menjadi kekuatan tersembunyi yang positif buat mereka. Akibatnya, orangtua-orangtua etnis Tionghoa dari kecil benar-benar mendidik anak-anaknya untuk menjadi pedagang karena itu satu-satunya pilihan baik. Jadi PNS tidak bisa, jadi tentara tidak bisa ya jadi pedagang!

Saya masih ingat dengan sebuah cerita dari orangtua saya, jika orang Tionghoa punya toko, kasarnya, jika si empunya mau barang di toko dia pun harus membelinya atau setidaknya mencatatnya. Tidak sembarangan seperti orang kita yang punya warung yang seenaknya main ambil.

Orangtua-orangtua ini menempa anaknya dari kecil dengan ketekunan, kerja keras dan juga dari segi keuangan gemar menyimpang uang (untuk kemudian investasi). Saya terbengong-bengong saat saya punya adik kelas SMA, yang orang keturunan Tionghoa, punya banyak rekening di Bank dan dia hapal di luar kepala nomor rekeningnya.

Atau saya juga masih ingat dengan sebuah cerita di sebuah tempat di Senen, Jakarta. Ada orang Tionghoa punya toko kain. Di sebelahnya persis ada pak Haji yg juga buka toko kain. Setelah dua tahun, bisnis si Tionghoa makin maju, dan si pak Haji sebelah akhirnya bangkrut.

Ternyata bukan karena si Tionghoa main curang atau guna-guna si pak haji. Ternyata itu karena yang Tionghoa, walaupun sudah untung, uangnya di simpan dan ditabung saja, untuk mengembangkan bisnisnya lagi. Dan dia dan istrinya makan telor ceplok saja Sedangkan si pak haji baru untung sedikit sudah makan besar di restoran karena gengsi sama keluarga nya.

Silahkan diambil pelajaran baik dari teman-teman kita yang Tionghoa ini. Anda sendiri yang akan mengambil kesimpulan. Jadi apa yang bisa kita terapkan untuk anak-anak kita?