Sabtu, 25 Desember 2010

Mengenali Gaya Belajar Anak Anda

MENGENALI GAYA BELAJAR ANAK
Oleh Ike Sugianto, Psi.(Psikolog anak) : 
6 Kunci sukses Orang Tua dlm mendidik anak :
1. Memahami gaya belajar anak
2. Memahami tahap perkembngn anak
3. Melejitkan potensi kecerdasan anak
4. Kenyamanan & Kegembiraan anak
5. Keteladanan bg anak
6. kekuatan doa bagi anak
Bahasan ini berbicara bagaimana memahami Gaya belajar anak kita.Sudahkah Anda mengenali gaya belajar anak di rumah? Siapa tahu selama ini kita salah menuduhnya malas belajar. Meski bersekolah di sekolah yang sama dan duduk di kelas yang sama, gaya belajar setiap anak ternyata tidak pernah sama. Perbedaan itu bahkan ada pada anak-anak dari satu keluarga, seperti beda dengan kakak, adik atau saudara kembar sekalipun.
Contohnya saat mengikuti pelajaran di kelas, menurut pakar psikologi, ada murid yang begitu tekun menyimak meski si guru menyampaikan materi pelajaran tak ubahnya seperti ceramah selama berjam-jam. Ada yang terkesan hanya memperhatikan sepintas lalu, meski sebetulnya mereka membuat catatan-catatan kecil di bukunya. Namun jangan ditanya berapa banyak anak yang merasa bosan dengan pendekatan belajar yang menempatkan murid sebagai pendengar setia.
Secara keseluruhan, ada anak yang lebih mudah menangkap isi pelajaran jika disertai praktek. Siswa seperti ini lebih suka berkutat di laboratorium mengamati dan mempelajari berbagai hal nyata ketimbang mendengar penjelasan si guru. Sedangkan temannya yang lain mungkin lebih tertarik mengikuti pelajaran yang disertai berbagai aspek gerak. Contohnya, guru yang menerangkan materi pelajaran kesenian sambil sesekali diselingi nyanyian dan tepuk tangan.
Tidak hanya itu. Ada anak yang harus bersemedi dan tutup pintu kamar rapat-rapat supaya bisa konsentrasi belajar. Akan tetapi cukup banyak yang mengaku justru terbuka pikirannya bila belajar sambil mendengarkan musik, entah yang mengalun merdu atau malah ingar-bingar. Sementara sebagian lainnya merasa perlu untuk mengubah materi pelajaran menjadi komik atau corat-coret yang gampang “dibaca”.
KONTRIBUSI ORANG TUA 
Apa pun gaya belajar yang dipilih pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu agar yang bersangkutan bisa menangkap materi pelajaran dengan sebaik-baiknya dan memberi hasil optimal. Bukankah masing-masing pelajaran juga disampaikan oleh orang yang berbeda dengan karakter mengajar yang berbeda pula.
Itulah mengapa, perlu menggarisbawahi agar setiap orang tua turun tangan mengamati gaya belajar masing-masing anak. Dengan memahami hal itu, sebetulnya orang tua sudah memberi kontribusi besar dalam keberhasilan belajar anaknya karena si anak jadi mudah menangkap materi pelajaran.
Buktinya, ketidakpahaman orang tua dan guru terhadap gaya belajar anak kerap menimbulkan kesalahpahaman. Ada guru yang tidak senang melihat muridnya asyik bikin coretan-coretan selagi di kelas. Atau ada juga guru yang langsung menegur anak yang terlihat tak bisa diam saat sedang diajar.
Padahal, perilaku corat-coret saat belajar tak mesti berarti ia enggan belajar. Bisa jadi, ia justru tengah berusaha menangkap materi pelajaran lewat corat-coretnya tadi. Tidak sedikit anak yang cepat ngerti kalau materi pelajarannya disampaikan lewat gambar atau ilustrasi.
Demikian pula dengan anak-anak yang terlihat aktif bergerak ke sana kemari selama di kelas. Anak seperti ini boleh jadi merupakan tipe aktif yang selalu kelebihan energi. Ia menyukai aktivitas fisik dan mudah bosan pada omongan/penjelasan panjang lebar.
MASUK TIPE YANG MANA ANAK ANDA?  
Ada 3 tipe gaya belajar yang biasa dijumpai:
1.     Visual Learner  
Gaya belajar visual (visual learner) menitikberatkan ketajaman penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar si anak paham.
Ciri-ciri anak yang memiliki gaya belajar visual adalah kebutuhan yang tinggi untuk melihat dan menangkap informasi secara visual sebelum ia memahaminya.
Konkretnya, yang bersangkutan lebih mudah menangkap pelajaran lewat materi bergambar. Selain itu, ia memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, disamping mempunyai pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik. Hanya saja biasanya ia memiliki kendala untuk berdialog secara langsung karena terlalu reaktif terhadap suara, sehingga sulit mengikuti anjuran secara lisan dan sering salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
Untuk mendukung gaya belajar ini, ada bbbrp pendekatan yang bisa dipakai yaitu caranya gunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi/materi pelajaran. Perangkat grafis tersebut bisa berupa film, slide, ilustrasi, coretan atau kartu-kartu gambar berseri yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan suatu informasi secara berurutan.
2.     Auditory Learner  
Gaya belajar ini mengandalkan pendengaran untuk bisa memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik model belajar ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, untuk bisa mengingat dan memahami informasi tertentu, yang bersangkutan haruslah mendengarnya lebih dulu. Mereka yang memiliki gaya belajar ini umumnya susah menyerap secara langsung informasi dalam bentuk tulisan, selain memiliki kesulitan menulis ataupun membaca.
Untuk membantu anak-anak seperti ini, orang tua bisa membekali anaknya dengan tape untuk merekam semua materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Selain itu, keterlibatan anak dalam diskusi juga sangat cocok untuk anak seperti ini. Bantuan lain yang bisa diberikan adalah mencoba membacakan informasi, kemudian meringkasnya dalam bentuk lisan dan direkam untuk selanjutnya diperdengarkan dan dipahami. Langkah terakhir adalah melakukan review secara verbal dengan teman atau pengajar.
3.     Kinesthetic/Tactile Learner  
Gaya belajar ini mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Tentu saja ada beberapa karakteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa melakukannya.
Karakter pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar bisa terus mengingatnya. Hanya dengan memegangnya saja, seseorang yang memiliki gaya belajar ini bisa menyerap informasi tanpa harus membaca penjelasannya.
Karakter berikutnya dicontohkan sebagai orang yang tak tahan duduk manis berlama-lama mendengarkan penyampaian pelajaran. Tak heran kalau individu yang memiliki gaya belajar ini merasa bisa belajar lebih baik kalau prosesnya disertai kegiatan fisik.
Kelebihannya, mereka memiliki kemampuan mengkoordinasikan sebuah tim disamping kemampuan mengendalikan gerak tubuh (athletic ability). Tak jarang, orang yang cenderung memiliki karakter ini lebih mudah menyerap dan memahami informasi dengan cara menjiplak gambar atau kata untuk kemudian belajar mengucapkannya atau memahami fakta.
Nah, mereka yang memiliki karakteristik-karakteristik di atas dianjurkan untuk belajar melalui pengalaman dengan menggunakan berbagai model peraga, semisal bekerja di lab atau belajar yang membolehkannya bermain. Cara sederhana yang juga bisa ditempuh adalah secara berkala mengalokasikan waktu untuk sejenak beristirahat di tengah waktu belajarnya.
Hanya saja dalam kenyataannya, pengelompokan ketiga gaya belajar ini tidaklah sederhana. Terbukti, pada beberapa anak ditemukan kombinasi antara satu gaya belajar dengan gaya belajar lainnya. Contohnya adalah anak-anak yang gemar membuat gambar/ilustrasi selagi belajar, tapi juga sibuk merekam pelajaran gurunya. Kendati begitu, “Pasti ada gaya belajar yang dominan dan subdominan. Untuk mengetahui mana yang dominan dan mana yang subdominan, harus dilakukan observasi menyeluruh.”
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH  
Kapan gaya belajar ini mulai dimiliki anak? “Sebenarnya, gaya belajar anak dipengaruhi oleh faktor bawaan atau sudah dari sananya.” Ada anak-anak yang memang memiliki fisik kuat dan prima sehingga cenderung memiliki gaya belajar kinestetik. Atau ada juga anak yang memiliki rasa seni tinggi sehingga gaya belajar visual lebih melekat dalam dirinya.
Jika salah satu indra kurang berfungsi secara maksimal, maka umumnya indra lain akan menggantikannya. Jika penglihatan seorang anak kurang berfungsi, maka indra pendengarannya lebih menonjol sehingga ia lebih peka terhadap suara atau bunyi-bunyian. Contohnya, para penyandang tunanetra biasanya memiliki indra pendengaran yang sangat tajam.
Selain itu, pola asuh juga memegang peran penting dalam kemunculan gaya belajar seseorang. Maksudnya, gaya belajar ditentukan oleh sejauh mana orang tua melakukan stimulasi terhadap masing-masing indra anaknya. Anak yang sejak kecil terbiasa dibacakan dongeng, boleh jadi akan terbiasa untuk mengasah kemampuan pendengarannya. Ia juga bisa cepat mencerna ucapan sang pendongeng. Akibatnya, anak akan cenderung menjadi seorang auditory learner dalam gaya belajarnya. Sementara anak seorang pelukis yang mayoritas waktunya lebih tercurah untuk mengamati detail-detail gambar orang tuanya biasanya akan menjadi seseorang dengan tipe belajar visual. Nah, bagaimana dengan anak Anda?

KENALI CIRI-CIRINYA 
Ciri-ciri dari masing-masing gaya belajar.
  • Auditory Learner, Cirinya :  
   -  Mampu mengingat dengan baik materi yang didiskusikan dalam kelompok  atau kelas.
   -  Mengenal banyak sekali lagu atau iklan TV, bahkan dapat menirukannya secara tepat dan komplet.
   -  Cenderung banyak omong.
   -  Tak suka membaca dan umumnya memang bukan pembaca yang baik karena kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru saja dibacanya.
  -  Kurang cakap dalam mengerjakan tugas mengarang/menulis.
-    Kurang tertarik memperhatikan hal-hal baru di lingkungan sekitarnya, seperti hadirnya anak baru, adanya papan    pengumuman di pojok kelas dan sebagainya.
  • Visual Learner, Cirinya : 
 -  Senantiasa berusaha melihat bibir guru yang sedang mengajar.
 -  Saat mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu, biasanya anak akan
 -  Melihat teman-teman lainnya baru kemudian dia sendiri yang bertindak.
 -  Cenderung menggunakan gerakan tubuh (untuk mengekspresikan dan menggantikan kata-kata) saat mengungkapkan  sesuatu.
 -  Tak suka bicara di depan kelompok dan tak suka pula mendengarkan orang lain.
 -  Biasanya kurang mampu mengingat informasi yang diberikan secara lisan.
 -  Lebih suka peragaan daripada penjelasan lisan.
 -  Biasanya dapat duduk tenang di tengah situasi yang ribut dan ramai tanpa merasa terganggu.
  • Kinesthetic/Tactile Learner, Cirinya :
  -  Gemar menyentuh segala sesuatu yang dijumpainya.
  -  Amat sulit untuk berdiam diri/duduk manis.
  -  Suka mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan tangannya  sedemikian aktif
  -  Memiliki koordinasi tubuh yang baik.
  -  Suka menggunakan objek nyata sebagai alat bantu belajar.
  -  Mempelajari hal-hal yang abstrak (simbol matematika, peta, dan sebagainya) dirasa amat sulit oleh anak dengan gaya belajar ini.
 -  Cenderung terlihat “agak tertinggal” dibanding teman sebayanya. Padahal hal ini disebabkan oleh tidak cocoknya gaya  belajar anak dengan metode pengajaran yang selama ini lazim diterapkan di sekolah-sekolah.


Ibu Penjaga Moral Bangsa

"Bunda adalah yang terhebat di dunia
sebab ia melahirkan kehidupan
dan memberi nyawa pada kata cinta."

Abdurahman Faiz (Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil)

Ibu, dengan segala makna di dalamnya. Ia tidak sekadar menjadi istri dari seorang suami. Tetapi ibu merupakan cahaya bagi sebuah keluarga. Penerang jalan bagi anak-anaknya dan mitra kerja yang mendukung sang suami. Ibu, takkan pernah bisa diungkap dengan satu kata. Bahkan beribu kata juga tidak akan mampu mengungkap peran dan jasanya.

Penjaga Moral Anak

Lembaga sosial yang bernama keluarga, tentunya ditopang oleh unsur yang berperan sebagai seorang ayah dan seorang Ibu. Keluarga tidak akan menjadi kokoh dan kuat manakala salah satu unsurnya timpang. Tumbuh kembang sebuah keluarga yang sehat, baik secara jasmani dan rohani mestilah melibatkan semua unsur. Salah satu unsur yang sangat berperan adalah unsur yang bernama ibu.

Ibu, berkontribusi pada penciptaan atmosfer yang kondusif. Hilangnya peran seorang ibu tentunya berpengaruh pada atmosfer kedamaian sebuah keluarga. Sosok ibu mewarnai kebahagiaan. Atmosfer yang kondusif juga sangat menentukan optimalisasi perkembangan pribadi, moral, kemampuan bersosialisasi, penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas juga peningkatan kapasitas diri seorang anak. Tanpa ibu mustahil ada kesuksesan bagi seorang anak manusia.

Penat dan lelah hilang seketika manakala mendengar coletahan sang anak. Tak ada lagi letih ketika melihat senyum sang buah hati. Dengan ikatan emosional yang sangat erat, keberadaan seorang ibu tidak dapat dipisahkan dari seorang anak. Itulah mengapa juga, ibu mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembentukan fisik dan jiwa seorang anak.

Menurut sebuah studi mengenai cara pengasuhan orangtua terutama ibu ternyata berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan fisik dan mental anak. Terbukti dari penelitian terbaru yang dilakukan oleh Professor Ali Khomsan Guru Besar IPB menyimpulkan, semakin baik pola pengasuhan ibu, semakin baik pula kualitas tumbuh kembang si kecil.

Studi yang berlangsung selama 2009-2010 di sembilan provinsi dengan 2.334 responden. Dari sini diketahui, pengasuhan mayoritas anak di Indonesia dilakukan ibu. Hasilnya, dari 80 persen anak yang diasuh baik, 78 persen di antaranya berada dalam status gizi normal atau sehat (vivanews 15/12/10).

Lihatlah, kualitas tumbuh kembang seorang anak berada dalam genggaman seorang ibu. Di tengah gempuran teknologi dan informasi, ibu menjadi benteng yang bisa memfilter. Walau memang tidak sepenuhnya terbentengi, tetapi ibu (dan ayah)tentunya bisa melindungi anak dari hal-hal negatif. Membuat pagar tinggi dan mengurung sang anak tidak akan menyelamatkan anak dari hempasan gelombang teknologi. Tetapi dengan kenyamanan dari seorang ibu, arahan bijak, kepercayaan dan perlindungan akan membuat sang anak lepas dari badai negatif teknologi.

Tugas seorang ibu adalah menanamkan agama yang kuat bagi anaknya. Tanpa itu, akhlak dan moral seorang anak akan tercerai berai. Mengikat anak dengan keimanan kepada pencipta-Nya memberikan modal yang besar bagi anak menghadapi hidup. Perang pemikiran yang berkembang saat ini, sangat membuka peluang terjerembabnya akhlak dan moral seorang anak. Sang Ibu memastikan sang anak mampu mengarungi hidup dengan penuh kekuatan. Memastikan hak-hak anak tidak terabaikan, itulah fungsi ibu.

Pada usia emas, seorang anak sangat dekat dengan ibunya. Ibulah yang hampir 24 jam bersamanya. Tentunya keberadaan seorang ibu akan mewarnai sosok anak seperti apa. Jika ibunya baik dalam mendidik, membekali sang anak dengan berbagai 'senjata' akhlak dan moral tentunya anak dapat melangkah dengan penuh kepastian.

Peran Peningkatan Generasi


Anak merupakan anugerah yang diberikan Allah Yang Maha Pencipta yang menjadi amanah bagi sebuah keluarga. Tidak hanya amanah yang dititipkan kepada keluarga an sich tetapi juga kepada bangsa ini. Titipan Tuhan ini tentunya harus dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, anak harus di didik, diperlakukan dengan baik, dihargai dan dicintai sepenuh jiwa.

Keberadaan seorang anak adalah sebagai penerus peradaban dan eksistensi kemanusiaan. Yang terbaik bagi anak (best interest of the child), dalam semua tindakan yang menyangkut anak. Kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan bagi seorang ibu. Memberikan yang terbaik merupakan keberlanjutan bagi hidup sang anak.

Pada kenyataannya, ada banyak persoalan yang melingkari masa depan generasi penerus ini. Salah satunya mengenai pelanggaran hak anak. Persoalan pelanggaran hak anak di negara ini ibarat gunung es. Tampak di permukaan hanyalah sedikit dari fakta yang sebenarnya terjadi. Komnas perlindungan anak dalam catatan akhir tahun 2009 menyebutkan bahwa kasus pelanggaran hak anak yang dilaporkan tidak saja naik secara kuantitas melainkan semakin kompleks jenis dan modus pelanggarannya. Apalagi komitmen negara belum nyata, walau sudah ada UU No 23 tahun 2002 yang menegaskan bahwa hak anak adalah bagian dari asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Pada kenyataannya belum efektif.

Berbagai masalah penyelenggaraan perlindungan anak kita temui. Dari soal eksploitasi anak dibidang kerja, dimana hasil survey Pekerja Anak di Indonesia yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik) bekerjasama dengan ILO (International Labour Organization) menunjukan jumlah pekerja anak mencapai 1,7 juta anak. Anak mestinya bermain tetapi dipaksa bekerja layaknya orang dewasa. Belum lagi anak yang menjadi korban pornografi dan tayangan media yang tidak proanak, begitu banyak. Persoalan pemenuhan hak  pendidikan, yang masih menyisakan pekerjaan rumah, masalah pemenuhan kesehatan yang terkait dengan gizi buruk dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, peran keluarga yang dikomandani oleh seorang ibu dan ayahlah salah satu solusi. Tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pemerintah. Perlu ada sinergisitas berbagai pihak. Entah itu pemerintah yang direpresentasikan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Swadaya Masyarakat atau Komnas Perempuan.

Memang tidak mudah tapi pasti bisa. Mengingat persoalan ibu/ perempuan dan anak seperti benang kusut. Kesungguhan pemerintah dan masyarakat dari berbagai elemen menjadi ujung tombak keberhasilan program yang menyelesaikan masalah. Momen hari Ibu bisa menjadi refleksi sampai sejauhmana peran seorang ibu dalam memberikan 'nafas' bagi kehidupan sang anak. Nafas yang bisa memaknai hidup si anak lebih baik. Ibu sebagai 'madrasah' kehidupan. Selamanya.

*) Herlini Amran, MA adalah anggota Komisi VIII DPR RI dari FPKS Dapil Kepri.


Belajar bersatu

Ketika kekalahan, tragedi, kelaparan, dan pembantaian mendera jasad Islam kita, kita selalu saja menyoal dua hal: konspirasi Barat dan lemahnya persatuan umat Islam. Tangan-tangan syetan Yahudi seakan merambah di balik setiap musibah yang menimpa kita. Dan kita selalu tak sanggup membendung itu, karena persatuan kita lemah.

Mari kita menyoal persatuan, sejenak, dari sisi lain. Ada banyak faktor yang dapat mempersatukan kita: aqidah, sejarah dan bahasa. Tapi semua faktor tadi tidak berfungsi efektif menyatukan kita. Sementara itu, ada banyak faktor yang sering mengoyak persatuan kita. Misalnya, kebodohan, ashabiyah, ambisi, dan konspirasi dari pihak luar.

Mungkin itu yang sering kita dengar setiap kali menyorot masalah persatuan. Tapi di sisi lain yang sebenarnya mungkin teramat remeh, ingin ditampilkan di sini.

Persatuan ternyata merupakan refleksi dari ’suasana jiwa’. Ia bukan sekedar konsensus bersama. Ia, sekali lagi, adalah refleksi dari ’suasana jiwa’. Persatuan hanya bisa tercipta di tengah suasana jiwa tertentu dan tak akan terwujud dalam suasana jiwa yang lain. Suasana jiwa yang memungkinkan terciptanya persatuan, harus ada pada skala individu dan jamaah.

Tingkatan ukhuwwah (maratibul ukhuwwah) yang disebut Rasulullah SAW, mulai dari salamatush shadr hingga itsar, semuanya mengacu pada suasana jiwa. Jiwa yang dapat bersatu adalah jiwa yang memiliki watak ’permadani’. Ia dapat diduduki oleh yang kecil dan yang besar, alim dan awam, remaja atau dewasa. Ia adalah jiwa yang besar, yang dapat ’merangkul’ dan ’menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang digejolaki oleh keinginan kuat untuk memberi, memperhatikan, merawat, mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai.

Jiwa seperti itu sepenuhnya terbebas dari mimpi buruk ’kemahahebatan’, ’kamahatahuan’, ’keserbabisaan’. Ia juga terbebas dari ketidakmampuan untuk menghargai, menilai, dan mengetahui segi-segi positif dari karya dan kepribadian orang lain.

Jiwa seperti itu sepenuhnya merdeka dari ’narsisme’ individu atau kelompok. Maksudnya bahwa ia tidak mengukur kebaikan orang lain dari kadar manfaat yang ia peroleh dari orang itu. Tapi ia lebih melihat manfaat apa yang dapat ia berikan kepada orang tersebut. Ia juga tidak mengukur kebenaran atau keberhasilan seseorang atau kelompok berdasarkan apa yang ia ’inginkan’ dari orang atau kelompok tersebut.

Salah satu kehebatan tarbiyah Rasulullah SAW, bahwa beliau berhasil melahirkan dan mengumpulkan manusia-manusia ’besar’ tanpa satupun di antara mereka yang merasa ’terkalahkan’ oleh yang lain. Setiap mereka tidak berpikir bagaimana menjadi ’lebih besar’ dari yang lain, lebih dari mereka berpikir bagaimana mengoptimalisasikan seluruh potensi yang ada pada dirinya dan mengadopsi sebanyak mungkin ’keistimewaan’ yang ada pada diri orang lain.

Umar bin Khattab, mungkin merupakan contoh dari sahabat Rasulullah SAW yang dapat memadukan hampir semua prestasi puncak dalam bidang ruhiyah, jihad, qiyadah, akhlak, dan lainnya. Tapi semua kehebatan itu sama sekali tidak ’menghalangi’ beliau untuk berambisi menjadi ’sehelai rambut dalam dada Abu Bakar’. Sebuah wujud keterlepasan penuh dari mimpi buruk ’kemahahebatannya.

Anis Matta