Kamis, 09 Juni 2011

Kenangan dari ustadzah yoyoh yusrah

SMS Ustadzah Yoyoh kepada seorang akhwat beberapa hari sebelum wafat:

“Ya Rabb, aku sedang memikirkan posisiku kelak di akhirat, mungkinkah aku berdampingan dengan penghulu para wanita Khadijah Al-Kubra yang berjuang dengan harta dan jiwanya?
Ataukah dengan Hafshah binti Abu Bakar yang dibela oleh Allah saat akan dicerai karena shawwamah dan qawwamahnya?
Atau dengan Aisyah yang telah hafal 3500-an hadits, sedangkan aku, ehm 500 juga belum.
Atau dengan Ummu Sulaim yang shabirah
Atau dengan Asma yang mengurus kendaraan suaminya dan mencela putranya saat istirahat dari jihad…
Atau dengan siapa ya Allah, tolong beri kekuatan untuk mengejar amaliah mereka… sehingga aku layak bertemu mereka bahkan bisa berbincang dengan mereka di taman Firdaus-Mu.”
Ya Rabb, raga ini terasa lemah, airmata terus menggenang di pelupuk mata, mengenang sosoknya, meskipun hanya beberapa kali bertemu dengan beliau, namun pertemuan-pertemuan itu amat membekas di hati ini. Terutama saat saya sempat mewawancarai beliau, dulu sekitar 5-6 tahun yang lalu, ketika saya meminta waktu beliau setelah wawancara, ketika saya mulai mengeluh dengan kondisi keluarga, kondisi waktu saya dan suami yang tidak bisa match, beliau menjelaskan panjang lebar tentang pentingnya kaum muslimah memiliki spesialisasi ilmu, profesional dalam bekerja, bahwa waktu yang terbatas jangan menjadi penghalang untuk terus belajar dan mengejar kafaah, pentingnya bersyukur di saat susah maupun senang, suka dan duka dan banyak yang kami diskusikan waktu itu. Ahh, sayang sekali, kaset dan hasil transliterasi ada di memory komputer kantor yang dulu, kalau ada, mungkin saya sudah sharing di sini.
Sepulangnya dari wawancara yang waktu itu ditemani suami tercinta, saya dihadiahi 3 buah buku yang sampai sekarang masih tersimpan di lemari perpustakaan rumah, judulnya “Pergerakan Muslimah Menyongsong Era Baru”, “Seorang Ibu, Sebuah Dunia, Berjuta Cinta” dan “Tragedi Kartini”. Kedua buku pertama ditulis dengan nama pena: Amatullah Shafiyyah dan buku terakhir tertulis nama penulisnya: Asma Karimah.
Dalam Sekapur Sirih, beliau menulis untaian kalimat indah:
Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Perkasa, Pemilik alam raya beserta seluruh isinya.
Segala kesyukuran pada-Nya Yang Esa
Atas bulir-bulir kasih sayang yang senantiasa bersemi,
menautkan keping demi keping serpihan yang terserak
dalam untaian
pengabdian………..
Ketika kata mendaki, meniti pelangi
ufuk pun tersenyum
menanti…………………
Buku ini–pembaca yang bijaksana–hanyalah sebuah kumpulan gagasan sederhana
Tak ada yang dapat ditawarkan olehnya, kecuali kata.
Namun kata-kata itu lahir dari cinta,
ya, dari cinta,
yang mengalun di relung-relung kalbu,
menyusuri hari demi hari.
Cinta yang menumbuhkan warna-warni,
yang menghilangkan segala sepah,
yang mengurai kemasygulan dan menumbuhkan keyakinan:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiyaa:35)
(dikutip dari buku Pergerakan Muslimah Menyongsong Era Baru)
Ya Allah, susah sungguh mengejar amaliyah yang telah beliau capai, namun doa dan ikhtiar pastinya harus terus dilakukan semaksimal mungkin. Ya Allah, ya Rabb, masukkan beliau ke dalam Jannah-Mu sebagaimana yang telah Engkau janjikan untuk orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Amin ya Rabbal ‘alamiin (or/smn)

Menikmati pernikahan

Kepada Suami
jangan beri aku bunga
lalai aku nanti
memandanginya dan menciumi
wanginya
jangan pula kau beri aku
setumpuk busa berwarna biru
sibuk nanti aku
membaca novel seraya menikmati empuknya
tak usah pula kau hadiahi aku
dengan sebatang coklat
yang rasanya memabukkan
karena akan rusak gigiku
dan mencuri waktuku
biarkan aku bercanda dengan mautku
karena aku tak tahu lagi
kapan ia hendak menjemputku
Menjadi istri, dan juga menjadi suami, adalah proses pembelajaran yang terus menerus. Ia tak sekedar membutuhkan naluri, insting atau apapun namanya, tetapi ia membutuhkan banyak hal yang mendukungnya untuk senantiasa siap dalam kondisi belajar. Belajar tentang apapun juga, agar pernikahan  sebagai sebuah tangga pendakian  menjadi pengantar yang mengasyikkan untuk mencapai ridhaNya.
Bukan lagi sebagai sebuah siksaan, rutinitas yang menjenuhkan atau kebosanan yang dipelihara karena tak ada lagi yang lainnya. Tak ada satu orang yang berhak lebih dominan dibanding yang lainnya, atau tak ada yang  boleh merasa terzhalimi oleh pasangannya. Ia adalah bejana bening yang ditentukan warna dan isinya oleh suami dan istri secara bersama-sama.
Itu sebabnya, pernikahan sebagai sebuah ibadah yang “unik”, karena tak semata-mata menyangkut keinginan pribadi, tetapi mesti mengkompilasi, mengkompromi dan menoleransi cita-cita dan harapan, setidaknya, dua orang, dinamai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai nisfud din, setengah agama.
Tak mudah dan tak bisa begitu saja memulas warna pernikahan itu menjadi warna harmonis yang layak dipamerkan di sebuah galeri sebagai al usroh al mitsaliyah, rumah tangga percontohan. Orang–orang di luar mereka memandangnya dengan keinginan untuk meneladaninya, tetangga-tetangga mereka merasa nyaman dengan kehadirannya, anak-anak di sekitarnya menjadikan mereka sebagai guru yang layak didengar. Duhai, alangkah indahnya kotak cantik yang bernama pernikahan itu.
Banyak akhwat, dan mungkin juga ikhwan, membayangkan bahwa pernikahan itu ibarat melewati jalan tol dengan mobil keluaran terbaru dan di pinggir-pinggir jalan dihiasi rumpun-rumpun mawar yang baunya semerbak dan warnanya meneduhkan mata. Mereka tak sepenuhnya salah. Asal mereka tahu, setelah jalan tol itu berlalu, mungkin mereka harus berbelok di jalan becek atau mobilnya ditilang oleh polisi, atau terbentang sungai tanpa jembatan, atau yang lain.
Pernikahan itu, tak hanya wangi seperti di saat walimatul ursy. Mungkin ada kalanya kompor minyak tanah perlu dicabuti sumbunya sehingga bau minyak tanah melekat di antara jari-jari. Atau saat sang bayi pipis dan buang air besar,  ia menjadi belepotan dengannya. Tak masalah sebenarnya, toh setelah itu semuanya mudah dibersihkan. Yang menjadi masalah, bila kesan yang tertanam di benak salah satu di antara mereka adalah kesan ketika pasangannya tak sedang “wangi”. Adakah yang lebih bisa dijadikan hiburan di saat gundah dengan hal ini  bila memori penuh dengan hal yang tak mengenakkan?
Saat marah, saat tak berkenan, saat berkata dengan nada tinggi, saat tak melepas kepergian dengan senyum kerelaan, saat tak menyambut pulang dengan wajah sumringah, saat akhir bulan tak ada lagi beras yang bisa dijadikan bubur untuk mengganjal perut yang lapar, saat rumah berantakan oleh kertas dan sampah makanan. Waduh! Mengapa dia menjadi suamiku? Waduh! Wengapa pula dia menjadi istriku?
Ada yang bercerita, sesungguhnya ia sama sekali tak bermasalah dengan suaminya. Ia menerima dengan cinta yang datang perlahan, ia mendapatkan kecocokan  dan ia dapat tertawa lepas bersamanya. Lalu apa masalahnya? Ia merasa mereka tak saling menulari dalam kebaikan tapi  terkadang  tertular dalam keburukan. Satu tak tilawah yang satu ikut-ikutan. Satu sulit (ini masalah kebiasaan sebenarnya, bukan stempel yang tak bisa diubah!) menghafal Al Qur’an, eh yang lainnya juga.
“Benar-benar defisit hafalan saya, dibandingkan ketika masa gadis dulu!”
Atau kebiasaan buruk lainnya seperti menggigit jari kuku, menaruh handuk sembarangan, lupa meletakkan kunci. Wah…wah…wah… , inilah kenikmatan dunia yang bernama pernikahan!
Betapa kebutuhan untuk menjadi diri sendiri adalah keniscayaan dalam pernikahan. Siapapun dia, dia membutuhkan ruang untuk diterima secara utuh dan  dihargai pemberiannya dengan kelapangan dada. Tidak selamanya diharuskan  ada tadhiyyah dalam masalah- masalah tertentu, apalagi bila masalah itu tak melanggar syar’i. Selera, misalnya. Mengapa ia harus meniadakan keinginannya membeli tahu pong, makanan favoritnya, gara-gara suaminya lebih menyukai tempe mendoan? Mengapa ia harus memaksakan diri kalau itu menyiksanya?
Meski tak ada yang menyalahkannya ketika akhirnya ia bisa “membuang” seleranya dan menggantikannya dengan selera pasangannya. Apalagi bila hal itu berdiri di atas nama cinta. Silakan, bila tak ada yang merasa terkalahkan hanya gara-gara tahu dan tempe! Semua itu masalah pilihan, tak ada yang lebih benar dibanding lainnya.
Pernikahan membutuhkan energi untuk ikhlas memberi sekaligus menerima. Dengan energi keikhlasan inilah sesungguhnya roda pernikahan itu akan menggelinding mulus meski berbagai halangan dari pasir, kerikil, lumpur becek,  sampai jalan berapit jurang akan mudah dilalui. Tak ada yang merasa lebih berharga dan lebih berjasa satu dengan lainnya. Juga tak boleh ada yang menghitung mengeluarkan terlalu banyak bila dibandingkan dengan apa yang dia terima.
Bila ternyata Allah menghadiahi kita dengan pernikahan barakah, kita pun telah dapat mengecap makna sakinah, mawaddah, wa rahmah. Maka sesungguhnya ujian kita akan berbentuk lain.
Aisyah radhiyallahu anha,  istri terkasih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam meriwayatkan sebuah hadits panjang  tentang sebelas perempuan yang saling berjanji untuk jujur dan tidak saling merahasiakan sesuatu pun tentang tingkah laku suaminya. Ada Ummu Zar yang amat disayang oleh suaminya dan diberi berbagai macam pemberian. Meski akhirnya ia dicerai, Ummu Zar tahu, tak ada yang bisa menggantikan Abu Zar dan menyamai pemberiannya.
Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, pria teragung itu, dalam sabdanya kepada Aisyah, “Aku dan engkau ibarat Ummu Zar, tetapi Abu Zar menceraikan Ummu Zar, sedangkan aku tidak menceraikanmu.”
Seringkali, manusia menjadi lupa bila Allah memberinya ujian berupa kenikmatan. Padahal ketika ujian yang datang berupa kesedihan, ketidaknyamanan, masalah yang datang bertubi, ketidakcocokan dengan karakter pasangan atau sedikit kekurangan materi, maka ia akan datang bersimpuh  kepada Allah dengan sepenuh kerendahan hati, mengadu dan mengucurkan air mata agar Allah senantiasa membantunya menyelesaikan problemnya.  Bila yang terjadi sebaliknya, suami sayang istri, tidak perhitungan (baca: tidak pelit) ketika memberi, tak pernah saling bentak, bila marah cepat redanya dan sayangnya bertambah setelah itu, jarang yang menghiba-hiba kepada Allah agar amanah keserasian itu sampai ke surgaNya.
Itu sebabnya saya mengungkap hal ini dalam puisi kecil dan sederhana itu. Bahwa inti pernikahan, menurut saya, sesungguhnya adalah tarbiyah. Seorang suami men-tarbiyah istrinya dan sebaliknya. Meski tak secara formal, mereka paling berhak menjadi murabbi bagi lainnya. Karena mereka adalah dua sosok individu yang dipertemukan dan didekatkan Allah karena rahmatNya. Tidak ada hubungan yang istimewa dan erat sebagaimana hubungan antara suami dan istri. Tidak ada yang bisa menggantikan satu dengan yang lainnya. Pun, tidak ada relasi apapun yang bisa menyamai relasi berumahtangga.
Seorang suami, karena kedekatannya itu menjadi faham betul, kapan sang istri dalam kondisi futur. Begitu pula, sang istrilah yang paling mengerti sudah berapa hari, pekan bahkan bulan, sang suami tak tilawah Al Qur’an di rumahnya. Faktor inilah yang menjadikan tarbiyah berbasis rumah adalah tarbiyah yang efektif. Karena sang pengobat tahu penyakit mana yang mesti diobatinya terlebih dahulu.
Sayangnya, banyak rumah tangga ikhwah, tak seideal (kita berharap:  mungkin sedang menuju ideal), seperti konsep-konsep tarbiyah rumah tangga seperti yang ditulis di banyak buku. Betapa sibuk sang bapak men-tarbiyah sekelilingnya, remaja masjid, mahasiswa di kampus, teman-teman di kantornya atau taklim rutin bapak-bapak pengurus masjid, tetapi saking sibuknya, ia lupa bahwa istri dan anak-anaknya juga membutuhkan sentuhan indah dari lisannya. Bahkan untuk sekedar berbagi cerita.
Seringkali pula sang bapak beralasan, “Apapun yang bapak lakukan itu adalah tarbiyah buat kalian, jadi lihatlah tindakan bapak, perhatikan bagaimana bapak mengambil keputusan atau cara bapak menengahi perselisihan.”
“Inilah cara bapak mentarbiyah kalian. Jadi tak usahlah diformalkan seperti forum yang melingkar itu!”
Begitupun sang ibu. Ia adalah murabbi tangguh bagi mutarabbinya. Teman yang enak diajak berbagi. Empati dengan permasalahan akhwatnya. Mau berkorban menolong kebutuhan saudaranya. Tapi sang ibu seringkali lupa, bila ia membaca doa rabithah, dan menyebut serta membayangkan deretan wajah-wajah sahabatnya, nama sang suami terlupa disebutnya.
Itulah, bila kemudian ada yang mengeluhkan, mengapa rumah tangga dai tak berbeda jauh dengan rumah tangga pada umumnya, barangkali faktor tarbiyah ini tak menemukan titik penting yang bisa menyentuh kebutuhan para penghuninya. Biarlah tarbiyah itu seperti air mengalir, tak usah di-planning-planning. Sehingga tausiyah yang mestinya sarat makna menjadi forum interogasi yang tidak dirindui. Sehingga kata-kata hikmah yang diucapkan adalah kata-kata yang tak mengendap di hati, sekedar masuk telinga kanan keluar ke telinga kiri. Akibatnya, banyak masalah yang mestinya kecil dan segera bisa diatasi, menjadi membesar dan tak tahu lagi kemana mencari ujung kekusutannya.
Ibarat tiang yang saling menopang, suami dan istri adalah dua tonggak tangguh yang saling menguatkan. Ketiadaan salah satunya menjadikan tiang lebih mungkin rapuh. Dan gampang dirobohkan. Sehingga proses  saling mengingatkan dan berharap peningkatan kebaikan bagi yang lainnya adalah keniscayaan. Apatah lagi, kita ini sama–sama manusia dengan segala kekurangan yang melekat erat. Istri mana yang tak ingin dimanja suaminya. Dihadiahi coklat, dipersilakan istirahat, diberi ruang untuk berasyik masyuk merawat diri di salon, dibolehkan sesaat untuk membaca novel kesayangannya dan tak selalu serius memikirkan cucian yang menumpuk di ruang belakang rumahnya. Dan balasannya, ia menjadi lebih cinta kepada suaminya. Tentu sang suami manapun menginginkan istrinya menikmati posisinya sebagai istri dia seorang, agar kepemimpinannya memang benar-benar layak dibanggakan.
Bukankah kata-kata umum mengatakan, seorang lelaki lebih tahan menerima cobaan yang diperuntukkan khusus baginya. Tapi ia bisa lebih tak tahan bila cobaan itu mampir ke istri yang dicintainya, atau anak-anak yang terlahir sebab benihnya. Itu sebabnya, bila sang suami suatu saat merasa lemah, kuatkanlah ia dengan tangan tangguh terulur. Bila kenikmatan dan fasilitas duniawi menggoda, yakinlah bahwa pertolongan Allah jauh lebih kuat bila kita pun tak sanggup untuk menyentuh madu manis sampah dunia.
Jadi, mari meletakkan diri di posisi yang lebih baik dan tertata. Yakinlah, menjadi bagian kecil  dari rumah tangga da’i, adalah kebanggaan dunia akhirat, dan tak mesti menghilangkan sisi kewanitaan atau keinginan-keinginan kecil yang sempat diharapkan. Toh Allah selalu bersama kita, maka nikmatilah!

Memasak itu menyenangkan

Anda tak suka memasak atau tak pernah memasak? Mengapa? Karena memang tak pernah tertarik dengan memasak? Enak tidak enak, yang penting tinggal makan, tidak repot, tidak perlu berkotor-kotor dan berlelah-lelah. Atau karena terlalu sibuk? Lebih baik melakukan pekerjaan lainnya daripada memasak, yang memakan waktu lama, sementara menghabiskannya hanya dalam hitungan menit bahkan detik. Atau karena merasa tak bisa memasak? Sudah pernah mencoba? Berapa kali mencoba memasak lalu gagal? Atau karena khawatir masakan anda tak enak, hingga keinginan memasak anda urungkan? Daripada dicaci, diprotes, melihat wajah-wajah jadi berubah bentuk ketika memakan masakan anda? Atau karena rasa malas yang begitu kuat membelenggu? Dari berbelanja bahan masakan, menyiapkan lalu memasaknya. Ribet dan bisa ruwet.
Memasak itu menyenangkan dan mengasyikkan. Gembirakan hati sebelum memasak, agar memasak tak dirasakan sebagai beban. Jika perlu, libatkan anggota keluarga untuk memasak. Libatkan juga mereka saat berbelanja. Itu juga akan menjadi ajang rekreasi  keluarga.  Memasak bersama pasangan akan menjadi variasi dalam menjaga  hubungan agar tak membosankan. Saling berbagi cerita ketika memasak. Wah… akan memberikan romansa tersendiri. Anak-anak pun bisa dilibatkan dalam kegiatan memasak. Anak mulai usia tiga tahun sudah cukup mampu diajak turun dapur. Selain melatih gerak motoriknya,  memasak juga dapat dijadikan sebagai sarana  belajar matematika, bahasa, pengetahuan alam dan pengetahuan lainnya. Mereka akan menikmati, karena seperti sedang bermain. Ya, bermain masak-masakan. Bukan hanya anak perempuan yang bisa dilibatkan dalam kegiatan memasak, anak laki-laki pun bisa. Dapur bukan hanya milik perempuan. Gelar Master Chef justru banyak dimiliki oleh laki-laki  . Untuk anak-anak yang beranjak remaja, memasak sebagai sarana mengajarkan mereka mandiri.
Memasak itu seru.  Dari berburu bahan masakan, menyiapkan hingga memasak, terkadang membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Ketika tidak menemukan bahan masakan yang dicari, kreativitas diuji. Jika tak ingin lelah berburu di tempat lain, yang belum tentu ada, harus memikirkan bahan penggantinya. Memilih bahan masakan pun haruslah cermat, agar mendapatkan daging, ikan, sayuran, buah atau bumbu masakan dengan kualitas yang baik. Belum lagi ketika mencoba resep baru, menjadi sebuah  tantangan untuk bisa menghasilkan masakan yang lezat. Tidak jarang untuk mendapatkan hasil yang memuaskan harus mencobanya berkali-kali. Hal tersebut membutuhkan kesabaran dan ketekunan.  Dan sebuah kepuasan ketika berhasil. Apalagi memasak makanan yang membutuhkan ketelitian, ketekunan dan kreativitas tinggi. Menjadi tantangan juga, bagaimana mengolah sisa makanan menjadi makanan baru agar tidak terbuang. Bagaimana dapat menyajikan masakan dengan cepat, sementara waktu sangat terbatas. Seru!
Kehebohan memasak bersama pasangan atau buah hati, merupakan petualangan yang seru. Keributan-keributan kecil di dapur karena perselisihan memasak, riuhnya anak-anak, jangan dianggap sebagai sesuatu yang menyebalkan. Nikmati kebersamaan itu, yang bisa jadi langka. Dan suatu saat anda akan merindukan saat-saat memasak  bersama pasangan atau buah hati.
Memasak itu membahagiakan. Seorang teman saya adalah wanita karir. Hampir tak ada waktu baginya untuk memasak. Sebenarnya ia bisa memasak. Suatu saat, ia sangat ingin memasak untuk keluarganya. Hanya tempe goreng dan sambal yang sempat dibuatnya. Apa kata anak-anaknya? “Ummi, tempe gorengnya enak sekali. Aku mau Ummi memasak lagi untukku.” Hanya tempe goreng. Tapi dilihatnya mata sang anak berbinar-binar. Ia menceritakan kisahnya dengan mata berkaca-kaca. Sejak itu, setiap kali ada waktu luang, ia memasak untuk keluarganya. Bisa memasak untuk orang-orang yang dicintai dan disayangi memberikan kebahagiaan tersendiri. Hilanglah penat kala melihat binar di mata mereka menikmati masakan yang kita buat. Waktu berjam-jam yang dihabiskan untuk berkutat di dapur terbayar.
Memasak sebagai terapi. Memasak sebagai terapi? Ya. Lindsay Lohan, artis terkenal, telah membuktikannya. Untuk mengatasi depresi karena bertumpuknya masalah yang dihadapi, ia sering memasak. “Saya suka memasak. Saya memasak setiap malam. Terkadang saya memasak untuk teman-teman. Saya merasakan kenikmatan tersendiri ketika memasak. Itu merupakan terapi bagi saya,” ungkap Lindsay yang dirilis Femalefirst. Kesibukan memasak akan mengalihkan perhatian dari masalah yang membelenggu. Melihat ekspresi kepuasan di wajah yang menikmati masakan, menghadirkan rasa senang dan bahagia yang dapat mengurangi kesedihan dan kegalauan.
Memasaklah dengan hati. Bagaimanapun kondisi hati, memasaklah dengan hati. Sesederhana apa pun masakan, jika memasaknya dengan hati, akan menghasilkan rasa yang luar biasa. Dan sebaliknya, semewah apa pun masakan, jika memasaknya tidak dengan hati, rasanya akan sangat mengecewakan. Hati yang tenang, riang, apalagi disertai dengan cinta, akan menghadirkan semangat dan membantu untuk dapat konsentrasi memasak. Ya, memasak juga membutuhkan konsentrasi. Jika tidak, dapat terjadi kecelakaan, salah memasukkan bumbu, atau ada yang terlupa tidak dimasukkan.
Memasak bukanlah hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang sulit. Tergantung dari mana melihatnya. Jika ingin menjadi Master Chef memang bukan hal yang mudah. Harus memiliki kemampuan meramu masakan, inovasi, kreatif dan mampu menyajikan masakan dengan cepat. Jika hanya ingin bisa memasak makanan sehari-hari, mudah koq. Merasa tidak punya bakat? Tidak perlu bakat hanya untuk memasak makanan sehari-hari. Dan jangan mudah berputus asa jika mengalami kegagalan. Teruslah mencoba. Ibarat orang yang mengendarai kendaraan, memasak butuh kebiasaan untuk melatih rasa. Semakin sering memasak, akan semakin pandai mengetahui masakan yang kurang bumbu hanya melalui aromanya,semakin tahu trik-trik memasak, juga  akan semakin mahir. Man jadda wa jadda, barang siapa bersunguh-sungguh, maka akan berhasil.
Selamat memasak dengan gembira!

sungguh semua anak mau belajar

Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
email. inspirasipspa@yahoo.com

Asal metodenya tepat, ketahuilah semua anak mau belajar. Sebagian orangtua mengatakan anaknya begitu malas sekali untuk membuka buku pelajaran. Harus disuruh-suruh terus mengerjakan PR jika ada PR. Seperti cerita berikut ini:

"Assalamu'alaikum. Abah saya mau tanya, putra saya yg pertama sekarang sudah kelas 3, tapi sejak beberapa bulan ini kadang-kadang mulai agak malas untuk belajar, harus diingatkan dulu kecuali kalau ada PR. Apa saya yang salah mendidiknya? Menurut Abah bagamana caranya supaya anak mau belajar tanpa disuruh?  Terima kasih Abah."

Anak yang malas ngerjain PR belum tentu malas belajar. PR itu sendiri sebenarnya tidak tepat diberikan anak-anak kelas 1-3 karena konsep berpikir mereka yang masih ekploratif bukan akademik. Fase kelas 1-3  fase transisi. Coba tanya pada diri kita sendiri, apakah waktu kita sekolah dulu menyukai PR? berapa banyak dari kita yang senang jika dikasi PR? Senang loh ya bukan rajin mengerjakan PR? Adakah diantara kita yang mengharapkan dikasi PR?  Adakah diantara kita yang hobby mengerjakan PR.

Sebagian kita memang ada yang dari kecil rajin mengerjakan PR. Tapi rajin mengerjakan PR bukan berarti kita begitu menyenanginya bukan?

Karena itu mari paradigmanya kita rubah. Semua anak mau belajar asal diberikan metode yang tepat. UNDANG ANAK BELAJAR, bukan SURUH ANAK BELAJAR!

Tidak bisa dipungkiri, ada anak istimewa yang mau belajar sendiri meski tak disuruh. Tetapi meski mereka mau belajar sendiri tanpa diminta orangtuanya sekalipun, yang ideal semua anak SD saat belajar itu sebenarnya ditemani, dibimbing, bukan disuruh-suruh. Inilah fungsi kita sebagai orangtua. Mencari nafkah bagi abah adalah kewajiban. Tapi mencari nafkah tidak menggugurkan kewajiban abah yang lain ketika punya anak: mendidik anak!

Karena itu meski mungkin kadang lelah setelah seharian bekerja. Menyempatkan waktu untuk menemani dan membimbing anak belajar juga tak boleh dilepaskan.

Sebenarnya anak-anak itu secara alamiah senang belajar. Dan jika metodenya tepat, bahkan yang bergembira dengan belajar, bukan hanya anak, tapi abah yang menemaninya pun mendapatkan banyak kegembiraan.

Misalnya, saat hari ini anak abah yang kelas 2 SD (salma) belajar tentang AIR (sains). Worksheet (buku pelajaran anak) anak abah bisa jadi bahan seru untuk belajar.

Abah mulai dari bercerita tentang air. Kita boleh namakan air itu dengan sebutan Ara, Aira, Al-Water. Sebut saja, "ada setetes air bernama al-water."

"Ia kadang diam, kadang bergerak! Saat di danau dan kolam, al-water senangnya diam. Tapi saat di sungai al water senangnnya bergerak."

"Awal water klo bergerak senangnya itu bergerak (mengalir) dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah!"

"Menurut kamu, bisakah al water bergerak dari tempat yang rendah ke tinggi?"

Dan seterusnya, bahkan saat semalam belajar ini, subuh tadi salma meminta lagi untuk belajar. Ia benar-benar ketagihan belajar! karena ini membuatnya PENASARAN! membuatnya ingin tahu lebih banyak!

Apalagi ketika abah memperlihatkan percobaan dengan gelas tentang sifat-sifat air, memperlihatkan bola dunia yang ternyata bagian air jauh lebih banyak darpada bagian daratan dst.

JAdi, tak ada lagi istilah anak tidak senang belajar! Apalagi divonis malas belajar! yang ada adalah orangtua ynag hanya nyuruh-nyuruh belajar! Tapi tidak mendampingi belajar!

Tak ada lagi anak yang ogah-ogahan belajar, yang ada adalah kita yang menggunakan metode belajar 'akademik' yang sesuai dengan otak dewasa , dipaksakan dengan otak anak-anak.

Apakah harus ditemani terus belajar?! Tidak! Tapi fase SD adalah fase untuk anak pengenalan belajar akdemik. Fase ini adalah fase dimana anak dilatih untuk menyukai belajar akdemik. Insya Allah pada waktunya nanti (mulai SMP) anak-anak karena sudah terlatih tidak usah lagi ditemani pun sudah terlatih bagaimana menggali bahan ajar sehingga menarik minat dia terus bereksplorasi.