Minggu, 05 Desember 2010

40 MENIT DI KELAS ‘TERNAKAL’ (kelasnya manusia) di SMP AL-KHAIRIYAH SURABAYA

40 MENIT DI KELAS ‘TERNAKAL’ (kelasnya manusia) di SMP AL-KHAIRIYAH SURABAYA
By Munif Chatib

HP berdering. Direktur sekolah Al Khairiyah Surabaya meminta waktu saya untuk dapat mengajar di SMP, tepatnya di kelas 8B. Beliau mengatakan agar sekali dayung tiga empat pulau terlampau. Pak Munif mengajar dengan strategi multiple intelligences, para guru nanti mengobservasi. Setelah itu dibahas bersama dalam pelatihan guru. Saya menyetujui dengan senang hati. Namun keringat dingin menjalar, ketika saya tanya mengapa harus SMP Kelas 8B?
“Itu kelas paling nakal, siswanya tidak bisa diatur. Hampir semua guru kewalahan mengajar di kelas itu. Siswanya tidak menghargai guru. Membuat ‘geregetan’ guru dan akhirnya semangat guru menurun kala harus mengajar di kelas tersebut. Dan temanya adalah ‘MENGHORMATI GURU’,” jawab Direktur Sekolah tersebut.
Saya cuma bisa menelan ludah. Membayangkan mengajar tema menghormati guru di kelas yang semua siswanya paling tidak mau menghormati guru.Tak sabar menunggu subuh, dan akhirnya saya mulai membuat lessonplan.


Tepat pukul 08.00 saya sudah berada di sekolah tersebut. Dengan diiringi kepala sekolahnya, terus saya mendapatkan informasi yang ‘mengerikan’ tentang kondisi siswa di kelas tersebut
“Kami, para guru sudah habis-habisan, namun hasilnya masih tidak seberapa. Dengan cara apalagi?” Keluh kepala sekolah.
Beberapa guru yang juga menyertai mengucapkan beberapa nama yang termasuk ‘biang kerok’ kelas tersebut. Setelah menaiki tangga lantai 2, akhirnya tepatlah saya berdiri di depan pintu kelas ‘panas’ tersebut. Dengan mengucapkan bismillah, saya memasukinya sembari saya buang semua gambaran negatif tentang siswa di kelas itu. Saya membayangkan semua siswanya baik, dapat di ajak kerja sama. Tidak ada siswa yang nakal dan kurang ajar. Semua siswa tersebut pasti akan mau menjadi sahabat saya. Dan mereka mau dengan rela mengikuti pelajaran ini. Lalu target materi tuntas. Saya melakukan ‘positive thinking’ di depan kelas tersebut.

Dan benar, ketika di depan kelas, saya menatap wajah mereka satu persatu. Wow luar biasa, saya melihat wajah-wajah siswa yang haus akan ilmu pengetahuan. Wajah-wajah yang haus sentuhan pengajaran yang manusiawi. Saya memperkenalkan diri dan meminta semua siswa mengenalkan diri.
“Saya ingin adik-adik tidak hanya sekedar menyebutkan namanya, tapi juga teriakkan satu kata profesi yang nanti diinginkan adik-adik. Yang mana dengan profesi itu adik-adik berharap menjadi manusia yang sukses, seperti harapan orangtua adik-adik. Ayo teriakan sebuah profesi meskipun itu hanya di alam mimpi, jangan malu” ajak saya dengan antusias.

Lalu satu persatu mereka berdiri, menyebut nama dan profesi.
“Saya Nasyirudin, ingin jadi pembalab motor cross.”
Ada 6 siswa yang ingin jadi pemain bola profesional. Saya langsung mendoakan mereka, semoga piala dunia 2018 nanti anda semua menjadi pemain yang membawa harum nama Indonesia di piala dunia. Serentak mereka menjawab, “Amieeeeennnn”.


Wow alhamdulillah, menit-menit awal saya merasa berhasil mengambil hati anak-anak ‘unik’ ini. Saya tambah semangat menggilir siswa-siswa tersebut tenggelam dalam profesi masa depannya. “Aku ingin jadi dokter”. “Aku ingin jadi penulis”, dan lain-lain. Walhasil tidak ada satupun siswa yang diam. Ternyata satu hal yang penting, anak-anak yang katanya nakal ini trnyata mempunyai mimpi, mempunyai harapan, berarti mereka mempunyai motivasi untuk belajar.

Lalu saya melakukan pre teach, dengan mengatakan kepada para siswa.
”Adik-adik, 30 menit ke depan kita akan berdiskusi. Untuk itu saya membutuhkan seorang notulen dan moderator. Adik-adik akan dibagi menjadi 4 kelompok, terserah terbagi atas dasar apa, pokoknya ada unsur persamaannya. Sebagai moderator saya sendiri dan notulennya saya minta dari kalian yang tulisannya bagus.”

Langsung Nasyirudin angkat tangan, siap menjadi notulen. Saya meminta semua seisi kelas memberi tepuk tangan kepada Nasyirudin.
“Nasyirudin, keberhasilan pelajaran ini 75% tergantung kepada kelihaian kamu merangkup proses dan hasil diskusi ini,” saya menegaskan.
“Siap Pak Munif,” jawab Nasyirudin dengan semangat sembari menyiapkan buku tulis dan pulpennya.
“Hanya 10 detik, waktu kalian hanya 10 detik untuk membentuk 4 kelompok. Satu, dua tiga ...,” perintah saya setengah berteriak. Maklum sudah kadung terbakar.

Praktis kelas ribut dan subhanalluh tepat 10 detik, sudah terbagi menjadi 4 kelompok dengan 4 nama yang dibuat mereka sendiri. Saya tambah yakin kehadiran saya benar-benar diterima oleh mereka. Lalu saya meminta setiap siswa membuka halaman kosong di buku tulisnya masing-masing. Lalu saya minta mereka menuliskan satu nama guru mereka, yang selama ini mereka anggap negatif. Apakah guru itu tidak menyenangkan, sering menyakitkan hati, atau lainnya, pokoknya yang negatif.
“Tulis satu nama guru kalian tepat ditengah kertas. Lalu di sampingnya beri tanda tanya besar. Lalu tutup kembali buku tersebut. Nanti di akhir pelajaran kita akan buka kembali,” kata saya.
Mereka berpikir sejenak. Ada yang tersenyum, saling menoleh kepada teman-temannya. Ada yang geleng-gelang kepala. Saya merasa ada penghalang dan saya tahu itu. Mereka tidak enak dengan guru mereka yang sedang duduk di belakang kelas. Langsung saya berkata,
“Adik-adik, jika guru tersebut ada di belakang kelas kita, tidak apa-apa. Tulis saja lalu tutup. Tidak akan pernah ada yang tahu.”
Rupanya kata-kata saya seperti menjadi penenang buat para siswa. Dan tak lama kemudian mereka semua selesai menulis satu nama itu. Memang dengan berat sekali nama itu ditulis.
Ketika saya mondar mandir sampai ke belakang kelas, seorang guru bertanya,
“Menulis nama guru ini untuk apa pak Munif?”
“Inilah yang namanya scene setting,” jawab saya lirih.

Memang betapa banyak teman-teaman guru yang kesulitan membuat scene setting dalam lessonplannya.
Saya memulai diskusi dengan melemparkan sebuah masalah kepada semua kelompok. Masalahnya adalah apa saja penyebab kebanyakan siswa tidak suka kepada guru, sehingga mereka tidak menghormati guru. Apa saja penyebabnya.
“Waktu hanya 5 menit, diskusikan apa saja penyebabnya. Lalu wakil per kelompok maju untuk presentasi.”

Luar biasa, belum 5 menit mereka sudah rampung menyelesaikan masalah pertama. Yang membuat saya dan teman-teman guru terhenyak adalah presentasi setiap kelompok.
“Yang membuat guru tidak menyenangkan adalah sering memerintah mencatat terus sampai tangan saya capai.”
“Sering marah tanpa ada sebab.”
“Tidak boleh ke toilet.”
“Cerewet.”
“Sering memberi tugas berat.”
“Kalau ada siswa berantem, malah di adu.”

Saya tahu suasana kelas tiba-tiba menjadi tegang. Betapa tidak, di belakang mereka adalah guru-guru mereka. Kelas tersebut menjadi ajang curhat. Untuk mencairkan suasana, saya meminta semuanya bertepuk tangan. Masalah pertama telah selesai, dan si notulen dengan giat terus menulisnya. Saya menantangnya dengan masalah kedua.

“Coba diskusikan lagi masalah kedua. Apa yang harus kalian usulkan kepada para guru agar masalah pertama tidak terjadi. Sehingga hubungan antara siswa dengan guru menjadi harmonis.”
Kembali kelas ramai berdiskusi. Dan mereka kembali melakukan presentasi yang luar biasa. Perhatikan apa sebenarnya yang diinginkan para siswa kelas ‘terheboh’ itu.
“Mestinya kami lebih banyak diperhatikan oleh guru.”
“Mestinya kami sering diajak bicara oleh guru.”
“Mestinya kami lebih sering diajak membuat kesepakatan-kesepakatan.”
“Mestinya guru harus percaya kepada kami, tanpa mencatat berlembar-lembar, kami mau belajar.”
Dan klimaksnya, terlontar pernyataan:
“Mestinya kami harus disamakan dengan anak yang lain. Tidak dicap nakal.”

Saya langsung meminta mereka serius dalam menjawab pertanyaan pamungkas dari saya.
“Apa jika keinginan kalian dipenuhi, di kelas ini akan terjadi keadaan yagn harmonis antara guru dengan kalian? Apakah kalian mau dengan rela dan ikhlas memandang guru kalian seperti orangtua kalian layak yang dihormati?”
Mereka serempak menjawab ‘mau’ dan mengangguk. Lalu saya menuliskan di papan tulis untuk di salin oleh siswa di buku tulisnya. Saya menggunakan metode mind map untuk mencatat. Saya tulis di tengah-tengah MENGHORMATI GURU. Lalu saya tarik garis ke atas dengan frase ARTI HORMAT (WHAT). Lalu garis menyamping MENGAPA GURU DI HORMATI (WHY). Dan garis ke bawah SELANJUTNYA BAGAIMANA (WHAT NEXT)? Pada frase ARTI HORMAT, saya tarik garis-garis cabang antara lain kerjasama, saling percaya, memberikan respon positif, tanggung jawab, dan bicara yang santun. Sedangkan pada MENGAPA GURU DIHORMATI?, saya menarik cabang-cabang antara lain merekalah pemberi ilmu, pengubah perilaku negatif, pengajar cara berpikir, sumber profesi dan menyelamatkan dunia dan akhirat.

Puncaknya pada frase WHAT NEXT?, dengan tegas saya tulis, harus mengikuti pelajaran, menyelesaikan target belajar, berterima kasih kepada guru dan memohon maaf secepatnya jika mempunyai salah.

Dengan antusias semua siswa mencatat mind map di buku tulisnya. Ada yang berbeda dari biasanya. Mereka menulisnya dengan posisi landscape dan dimulai dari tengah. Saya menantang siswa untuk nanti malam di salin kembali ke dalam kertas gambar A3 dengan warna warni. Setelah selesai mencatat, saya bertanya,
“Apakah adik-adik enjoy dengan mencatat model seperti ini? Capai gak?”
“Asyiikkk, gak capai ...,” jawab mereka serempak.


Lalu saya minta mereka membuka kembali kertas yang berisi nama guru yang tidak disukai, yang mereka tulis di awal belajar. Kembali saya meletupkan emosi mereka.
“Coba adik-adik, bayangkan wajah guru yang kalian tulis. Ada tanda tanya disana. Apa maksudnya? Tidak lain adalah pertanyaan yang harus kalian jawab dengan hati kecil kalian. Apa benar mereka cerewet? Apa benar mereka galak? Sehingga tidak kalian sukai atau bahkan membencinya. Apa benar? Coba jawab dengan nurani kalian. Setelah kalian tahu merekalah yang akan menyelamatkan dunia dan akhirat kalian.Merekalah yang berusaha cita-cita kalian terwujud, yang ingin jadi pemain bola, dokter, pelaut bahkan pembalap. Apa kalian sadar, dari guru yang namanya kalian tulis itulah keinginan kalian akan mulai terwujudkan. Lalu apa pantas sekarang kalian mengatakan mereka tidak menyenangkan? Ayo bagi yang merasa masih punya hati, silahkan berdiri, bangkit, temui guru yang kalian tulis tersebut. Ucapkan permohonan maaf yang benar-benar dari hati. Kapan lagi kalau tidak sekarang. Ayo berdiri cari guru kalian.

Dan selanjutnya, ada airmata yang mengucur antara guru dan siswa. Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT, saya berhasil menutup 40 menit mengajar dengan cantik.

Surabaya, 8 November 2010
 http://www.facebook.com/note.php?note_id=458933906974&id=1226228785&ref=mf

1 komentar: