Sabtu, 15 Mei 2010

Ingin dikenang seperti apa kita oleh anak kita

Dalam acara tujuh hari wafatnya Gus Dur, Innayah Wahid membacakan puisi yang membuat terharu jamaah yang hadir. Puisi berjudul “Karena Ayahku” itu ditulis untuk ayahnya, Gus Dur. “Kalau aku jadi orang dermawan, itu karena Ayahku yang mengajarkan. Kalau aku jadi orang toleran, itu karena Ayahku yang menjadi panutan. Kalau aku jadi orang beriman, itu karena Ayahku yang menjadi imam. Kalau aku jadi orang rendah hati, itu karena ayahku yang menginspirasi. Kalau aku jadi orang cinta kasih, itu karena ayahku memberi tanpa pamrih. Kalau aku bikin puisi ini, itu karena ayahku yang rendah hati.”

Pada hari yang sama, ada berita lain yang sangat kontras. Seorang pria Italia meludahi jenazah ibunya yang dimakamkan di Swiss. Rupanya, sewaktu kecil ia sering dipukuli ibunya. Itu membuatnya dendam sampai ia dewasa kini.

Kita, para orang tua, ingin dikenang seperti apa oleh anak kita nanti? Saat kita telah tiada. Saat kita meninggalkan mereka. Apakah kita ingin dibacakan puisi indah, atau di-”hadiahi “ ludah? Menjadi kenangan indah atau memori pahit yang dibalas sumpah serapah? Kita perlu sejenak berpikir mengenai masa itu.

...dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dilakukannya untuk hari esok (QS. Al-Hasyr : 18)

Apa yang kita lakukan hari ini untuk anak kita, apa yang kita perbuat hari ini terhadap anak kita, akan lebih tepat jika telah sejalan dengan hasil masa mendatang yang kita inginkan. Orientasi masa depan. Dengan perspektif kesadaran anak-anak kita, nanti. Bukan sekarang.

Saat kita menginginkannya menjadi anak yang pintar, kita lantas memaksanya untuk terus dan terus belajar. Saat kita menginginkan anak kita menjadi penurut, kita mengancamnya dan membuat dia takut. Saat kita menginginkan anak kita menjadi pemberani, kita justru merenggut hal yang paling dibutuhkannya nanti: rasa percaya diri. Kita memang bisa memaksanya sekarang. Ia takkan melawan. Namun perasaannya yang terpendam bisa menggelegak keluar ketika sudah tak bisa tertahan dan ada kesempatan. Banyak kasus ini akan diluapkan saat orangtua tiada. Seperti cerita kedua di atas.

Memulai dari tujuan akhir. Demikian salah satu kebiasaan efektif yang dikemukakan Stephen R. Covey dalam buku The Seven Habits of Highly Effective People. Bahwa apa yang kita perbuat harus menuju tujuan akhir. Bahwa apa yang kita lakukan pada anak kita, apa yang kita perbuat untuk anak kita, perlu kita bawa dalam bingkai: “Bagaimana menurutnya saat besar nanti, atau kita telah tiada?”

Ini akan mendorong kita memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Membuat kita mendidik mereka dengan penuh cinta. Mengarahkan kita untuk berbuat yang terbaik baginya; bukan bagi kita.

Namun, lebih dari itu, jika kita berbuat banyak terhadap anak kita hanya dalam kerangka “apa yang akan kita dapatkan dari mereka” “bagaimana mereka mengenang kita” kita akan merugi. Mengapa? Sebab ada masa yang jauh lebih panjang dari sekedar “menuai kenangan”. Dan, saat kita meninggal kita tidak lagi membutuhkan pujian. Iya, bukan? Yang kita butuhkan adalah pahala dari Allah atas kerja-kerja membesarkan dan mendidik anak-anak kita. Yang kita butuhkan adalah amal jariyah saat segala amal telah terputus bersamaan dengan putusnya hubungan kita dengan dunia. Ini hanya dapat kita raih jika kita membesarkan dan mendidik anak kita dengan orientasi yang benar. Niat yang benar. Lillaahi ta’ala. Bahwa mereka amanah Allah, dan karenanya kita menunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya.

Maka sikap terbaik kita akan berbuah hal terbaik juga: anak-anak mengenang kita dengan indah, sekaligus mereka menjadi pahala jariyah. [Muchlisin]

Pengangguran Haraki

Syeikh Muhammad Ghazali Rahimahullah berkata, “Dalam suasana pengangguran terlahir ribuan keburukan dan menetas berbagai bakteri kebinasaan, jika kerja merupakan message kehidupan, maka para penganggur adalah orang-orang yang mati, dan jika dunia ini merupakan efek dari tanaman kehidupan yang lebih besar, maka para penganggur adalah sekumpulan manusia yang paling pantas dikumpulkan dalam keadaan bangkrut, tidak ada panen bagi mereka selain kehancuran dan kerugian.”

Ada beragam penyakit tarbawi yang sangat berbahaya, jika ia tersebar dalam barisan dakwah, dan mendapatkan tempat dalam jiwa personelnya, maka pasti yang terjadi adalah keterpurukan, keguguran, menarik diri dan meninggalkan kancah dakwah secara diam-diam, kemudian kebangkrutan dalam arti yang luas dan menyeluruh

Di antara penyakit tersebut dan utamanya adalah al-bithalah ad-da’awiyah (pengangguran da’awi) atau al-kasal al-haraki (kemalasan haraki) atau futur, al-faragh (tidak ada pekerjaan), al-qu’ud ‘anil ‘amal (berpangku tangan), at-taqa’us ‘an ada’ al-wajib (tidak menunaikan kewajiban), at-tanashshul minal qiyam bil maham ad-da’awiyah (tidak menjalankan tugas-tugas da’wah) yang sangat beragam, istimra’ halat ar-rahah (terbiasa menikmati suasana santai), at-taharrur min tahammul at-tabi’ah wal mas-uliyyah (berlepas diri dari upaya memikul beban dan tanggung jawab).

Semua tadi merupakan gejala satu penyakit yang jika menimpa para aktivis di medan dakwah dan harakah, niscaya menimpa pada posisi yang mematikan, kecuali jika segera mendapatkan kebangkitan hati, atau mengambil ibrah dari suatu mau’izhah, atau mengambil manfaat dari suatu nasihat, dan tentunya, sebelum, saat dan setelah itu ia mendapatkan rahmat, kebersamaan dan taufiq Allah SWT.

Berdasarkan pengalaman dan mu’ayasyah (interaksi) tampak bahwa ada sejumlah faktor yang memberi andil bagi terjadinya penyakit ini, utamanya adalah:

* Menurunnya tingkat keikhlasan dan masuknya niat yang tidak baik.
* Ada masalah pada unsur-unsur pemahaman
* Tidak mengetahui jati diri dakwah dan harakah
* Merespon berbagai godaan dunia dan mengejar kemilauannya yang palsu
* Melupakan ghayah, atau inhiraf dan lalai darinya
* Putus asa, frustasi dan memprediksi keburukan
* Mengambang dan target yang tidak jelas
* Tidak interaktif dengan proses tarbawi
* Menghilangnya akhlaq yang menjadi tuntutan marhalah, seperti: tsabat, sabar, tsiqah, tajarrud, tadh-hiyah dan lainnya.
* Melemahnya rasa tanggung jawab
* Merasa panjang perjalanan dakwah yang mesti ditempuh
* Menghilangnya semangat dan padamnya bara keinginan untuk beramal
* Rancunya jenjang prioritas, kalaupun masih ada, dakwah ditempatkan pada posisi prioritas paling akhir
* Berkaratnya sisi ruhani, tarbawi dan imani serta rusaknya komitmen
* Buntunya selera beramal serta tidak merasakan kelezatan mengerahkan jerih payah fi sabilillah
* Hilangnya citarasa berlelah dan bersungguh-sungguh beramal di berbagai medan dakwah
* Kehilangan rasa ber-intima’ kepada dakwah dan harakah dan semakin kurusnya unsur-unsur wala’ kepadanya.
* Tertutupnya bentuk izzah kepada manhaj dakwah dan dinginnya ghirah terhadapnya
* Melemahnya immunitas fikriyah, imaniyah dan tarbawiyah

Semua faktor, sebab ini mendorong seseorang untuk qu’ud (berpangku tangan), menarik diri, menjauh dari lapangan amal dan membikin-bikin alas an untuknya. Karenanya, seseorang yang seperti ini akan menjadi beban berat dakwah dan harakah. Akibat berikutnya, dakwah semakin merintih karena memikul bebannya dan menyeretnya, padahal seharusnya, orang itulah yang semestinya memikul dakwah serta membawanya kepada cakrawala masa depan yang luas

Jika penyakit pengangguran da’awi dan haraki menyebar, akan muncullah ribuan perilaku-perilaku rendah, baik dalam skala perseorangan maupun jama’i, sebab, “barisan yang didalamnya tersebar pengangguran, maka akan banyaknya kerusuhan” dan “rumah yang kosong, akan banyak kebisingan.”

Maka hendaklah para pembawa panji dakwah dan harakah tidak berhenti di tengah jalan. Jangan pula semangatnya mendingin dan efektivitasnya padam setiap kali berhembus angin keputusasaan. Jangan pula harakahnya lumpuh, jalannya terhenti dan arahnya berubah saat bertiup badai fitnah, sebab mereka mengetahui bahwa, “Sifat mulia terkait dengan hal-hal yang tidak disukai, dan kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali melalui jembatan kesulitan, karenanya, tidak mengantarkan untuk mencapainya kecuali menggunakan kapal keseriusan dan kesungguhan.”

Tidak ada kegiatan bagi pasukan infantry adalah ghaflah. Di antara penghancur tekad adalah mimpi yang terlalu jauh dan senang bersantai-santai. Angan-angan hendaklah diiringi amal, jika tidak, ia hanyalah sekedar mimpi yang terpulang kepada pemiliknya. Suatu hari Alhasan al-bashri melihat seorang pemuda yang bermain-main dengan batu kecil sambil berdoa, “Ya Allah, nikahkan aku dengan bidadari”, maka Al-Hasan berkata, “Anda adalah pelamar yang paling buruk, melamar bidadari dengan modal main-main batu kecil!”

Begitu juga dengan kita, tidak mungkin kita melamar cinta kasih tamkin, taghyir dan ishlah sementara kita bermain-main dengan sesuatu yang lebih rendah dari batu kecil, sementara itu kita adalah para penganggur, bermalas-malasan, dan cukup menjadi penonton, sebab, seorang pelamar mestilah membawa mahar, dan “siapa yang meminang wanita cantik, maka ia tidak mempedulikan mahalnya mahar.” Dan sebagaimana dinyatakan oleh imam Al-Banna rahimahullah:

“Saya dapat membayangkan seorang mujahid adalah seseorang yang menyiapkan segala yang diperlukannya, membawa yang diperlukannya, niat jihad telah memenuhi seluruh jiwa dan hatinya, selalu dipikirkan, memberi perhatian besar, selalu dalam posisi siap, jika diundang memenuhi, jika dipanggil menyambut, paginya, petangnya, pembicaraannya, omongannya, kesungguhannya dan main-mainnya tidak melampaui medan yang ia telah persiapkan dirinya untuknya, dan ia tidak mengambil selain fungsi yang sesuai dengan kehidupan dan kehendaknya. Spirit berjihad fi sabilillah dapat dibaca dari garis-garis wajahnya, tampak dalam kilatan sinar matanya, dan terdengar dari celetukan lisannya sesuatu yang menggambarkan betapa besar gelora yang ada dalam hatinya, gelora yang selalu ada, menjadi duka hatinya yang terpendam. Juga terbaca dari jiwanya yang bertekad membaja, semangat tinggi dan cita-cita yang jauh. Itulah sosok mujahid, secara personal maupun bangsa. Engkau dapat melihatnya secara jelas pada suatu bangsa yang menyiapkan dirinya untuk berjihad tampak pada forum-forumnya dan klub-klubnya, tampak di pasar dan di jalan, terasa di sekolah, di rumah, terlihat pada generasi muda dan tua, lelaki dan wanita, sehingga anda membayangkan bahwa semua tempat merupakan medan, dan setiap gerakan adalah jihad.

Saya dapat membayangkan hal ini karena jihad merupakan buah dari pemahaman yang melahirkan perasaan, menghilangkan ghaflah, perasaan membangkitkan perhatian dan kebangkitan, dan perhatian berdampak kepada jihad dan amal. Dan masing-masing mempunyai dampak dan penampilan

Adapun mujahid yang tidur sekenyangnya, makan sepuasnya, tertawa sekerasnya dan menghabiskan waktu untuk bermain-main, maka bagaimana mungkin termasuk yang beruntung atau terhitung dalam barisan mujahidin?!”

Umat yang berpandangan bahwa perannya dalam berjihad hanyalah kosa kata yang diucapkan, atau makalah yang ditulis, lalu jika hati mereka diperiksa ternyata kosong, saat diuji perhatiannya melompong, tenggelam dalam ghaflah dan tidur yang molor, maka tempat, forum dan klub mereka tidak ditemui selain hal-hal tidak berguna, ketidakseriusan, main-main, hiburan dan menghabiskan waktu tanpa guna. Seluruh perhatian perseorangannya hanyalah kesenangan yang fana, kelezatan semu, bersantai-santai dan bersenang-senang, maka umat yang seperti ini lebih dekat kepada main-main daripada serius dan bahkan tidak mengenal keseriusan sama sekali.

Jadi, pengangguran adalah jalan kebangkrutan, sementara kepeloporan, kepemimpinan dan ketokohan tidak dapat diraih kecuali dengan keseriusan dan kesungguhan dan tidak dapat dicapai kecuali dengan segudang pengorbanan. Hal ini terbukti secara praktis sepanjang sejarah dan seorang aktivis dakwah dan harakah semestinya merupakan bagian dari mata rantai emas para nabi, rasul, sahabat, tabiin, ulama dan dai aktivis, karenanya, ia tidak akan mendapatkan kehormatan sebagai anggota dan diberi kartu keanggotaan kecuali jika ia telah membayar. Dan Ibnu Qayyim lebih berterus terang daripada saya, sebab ia memandang seseorang yang mengklaim menjadi bagian dari mata rantai mulia ini tanpa memberi bukti sebagai bentuk kebancian tekad. Beliau berkata:

“Wahai seseorang yang bertekad banci, di manakah kamu berada? Sementara jalan yang akan kamu tempuh adalah jalan di mana nabi Adam telah capek, nabi Nuh telah kehabisan suara, nabi Ibrahim telah dilemparkan ke dalam api, nabi Ismail telah digeletakkan untuk disembelih, nabi Yusuf telah dijual murah dan mendekam beberapa tahun dalam penjara, nabi Zakariya telah digergaji, nabi Yahya telah disembelih, nabi Ayyub telah menderita, nabi Daud telah melebihi kadar dalam menangis, nabi Isa telah berjalan sendirian dan nabi kita Muhammad SAW telah bergelut dengan berbagai kemiskinan dan berbagai rasa sakit, sedangkan engkau berbangga dengan hal-hal tidak berguna dan main-main??!!”

Kontribusi terhadap dakwah

Pada dasarnya umat manusia menginginkan perubahan dalam hidupnya. Baik secara individual maupun kolektif. Dan ajaran Islam memberikan konsep yang jelas untuk mencapainya. Yakni perubahan menuju kehidupan yang lebih baik dari hari ini. Kondisi ke arah itu hanya dapat dilakukan melalui penataan dakwah dengan sebaik-baiknya.

Upaya untuk mencapai perubahan umat ini, dakwah tidak dapat mengandalkan kekuatan di luar kemampuan manusia. Sekalipun orang beriman mengakui adanya kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia yang dapat mempengaruhi kekuatan dirinya.

Untuk meraih terwujudnya cita-cita perjuangan dakwah, kontribusi aktivis dakwah menjadi kunci utamanya. Dengannya kemudahan-kemudahan dakwah akan datang menyertai perjuangan mulia tersebut. Sehingga kontribusi dalam dakwah merupakan suatu tuntutan atau keniscayaan.

Kontribusi Dakwah Merupakan Keniscayaan Dalam Perjuangan (Hatmiyatun Harakiyah)

Kontribusi dalam dakwah adalah memberikan sesuatu baik jiwa, harta, waktu, kehidupan dan segala sesuatu yang dipunyai oleh seseorang untuk sebuah cita-cita. Ini menjadi bentuk pengorbanan seorang kader terhadap dakwah. Perjuangan dan pengorbanan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Kontribusi dakwah, besar atau kecil memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menegakkan Islam. Melalui pengorbanan, bangunan ini dapat berdiri tegak dari komponen satu sama lain baik besar ataupun kecil. Demikian pula kedudukan status sosial seseorang yang dipandang rendah tatkala memberikan pengorbanannya maka ia sama kedudukannya dengan yang lain bahkan mungkin lebih tinggi lagi.

Sebagaimana Rasulullah saw. menggangap mulia seorang penyapu masjid. Karena kerjanya masjid menjadi bersih dan menarik. Dari kontribusinya itu beliau memberikan tempat di hatinya bagi tukang sapu tersebut. Beliau mengagumi pengorbanan yang telah diberikannya. Sehingga Rasulullah saw. melakukan shalat ghaib untuknya. Ini karena sewaktu tukang sapu masjid itu meningal dunia beliau tidak mengetahuinya.

Para sahabat memandang apalah artinya seorang tukang sapu bagi Rasulullah saw. Namun tidak demikian bagi Rasulullah saw. Tukang sapu itu telah memberikan pengorbanan yang luar biasa dalam dakwah ini. Semua itu karena ia telah memberikan potensi miliknya untuk dakwah.

Dalam Majmu’atur Rasail, Imam Hasan Al Banna rahimahullah, mengingatkan kepada seluruh kader dakwah untuk selalu berada di barisan terdepan dalam memberikan kontribusi dakwah, “Wahai Ikhwah, ingatlah baik-baik. Dakwah ini adalah dakwah suci, jamaah ini adalah jamaah mulia. Sumber keuangan dakwah ini dari kantong kita bukan dari yang lain. Nafkah dakwah ini disisihkan dari sebagian jatah makan anak dan keluarga kita. Sikap seperti ini hanya ada pada diri kita –para aktivis dakwah– dan tidak ada pada yang lainnya. Ingatlah dakwah ini menuntut pengorbanan. Minimal harta dan jiwa.”

Untuk Meraih Pertolongan Allah swt. (Intisharullah)

Meskipun orang yang beriman meyakini bahwa pertolongan Allah pasti akan datang, tetapi pertolongan-Nya tidak boleh diartikan sebagai sebuah ‘keajaiban dari langit’ yang datang dengan tiba-tiba dan begitu saja. Sekalipun hal itu bisa saja terjadi menurut kehendak Allah swt.

Namun pertolongan Allah itu harus diartikan sebagai respon-Nya terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para hamba-Nya dalam memberikan perhatian dan pengorbanannya kepada dakwah. Firman Allah swt., “Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Allah akan menolong kamu dan meneguhkan langkah-langkah kamu.” (Muhammad: 7)

Oleh karena itu, untuk meraih pertolongan Allah, perlu mencari penyebab datangnya. Salah satu yang melatarbelakanginya adalah dengan memberikan kontribusi terhadap dakwah ini. Apalagi di saat dakwah ini menghadapi rintangan dari musuh-musuhnya. Situasi seperti inilah kontribusi aktivis dakwah dapat menjadi pintu untuk pertolongan-Nya. Terlebih-lebih dalam situasi yang pelik dan terjepit. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al-Baqarah: 214)

Karakter Aktivis Dakwah (Muwashafatul Jundiyah)

Dalam kaedah syair Bahasa Arab dikatakan bahwa, ‘Fain faqadu syaian lam yu’thi.‘ Siapa yang tidak punya, maka ia tidak akan dapat memberikan sesuatu. Maka mungkinkah seseorang akan memberikan kontribusinya sementara dirinya tidak memiliki apa-apa. Mereka yang tidak bisa memberikan pengorbananan apa-apa sepantasnya merasa malu. Karena telah banyak kebaikan Allah swt. pada kita. Oleh sebab itu seorang aktivis dakwah perlu mengetahui apa yang ia punyai.

Kaum yang beriman, khususnya aktivis dakwah, tidak boleh bakhil. Kontribusi apapun, yang telah ia tunaikan akan sangat bermanfaat bagi dakwah ini. Kemanfaatan pengorbanan itu hanya ada pada saat kehidupan di dunia ini baik bagi orang lain terlebih lagi bagi dirinya sendiri. Setelah mati, tidak ada sesuatu pun yang bisa diberikan oleh manusia untuk menambah timbangan kebaikannya di alam barzah kelak.

Karenanya, karakter aktivis dakwah yang sesungguhnya adalah berwatak merasa ringan untuk berkorban terhadap dakwah. Tidak ada sesuatupun yang merintanginya untuk berkorban. Ia cepat merespon tuntutan dakwah ini.

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang”. (Ash-Shaff: 14)

Kelangsungan Dakwah (Istimrarud Da’wah)

Memang kelangsungan dakwah ini telah mendapatkan jaminan dari Allah swt. (At-Taubah: 40). Akan tetapi ia juga berhubungan dengan kontribusi dakwah. Ia ibarat tetesan darah yang memperpanjang usia perjalanan dakwah ini. Oleh karenanya pengorbanan aktivis terhadap dakwah menjadi sangat vital.

Dakwah bisa terus berjalan atau mandeg lantaran pengorbanan aktivisnya. Mereka yang terdepan dalam memberikan kontribusinya, merekalah yang menjadi pelangsung dakwah. Sebaliknya mereka yang tidak berada pada barisan ini, menjadi penyebab mandul atau matinya dakwah. Karena mereka tidak memberikan pengorbanan, Allah swt. akan menggatikannya dengan aktivis yang lainnya. Hal itu terjadi untuk mensinambungkan gerak perjalanan dakwah.

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)”. (Muhammad: 38)

Adapun kontribusi yang dapat diberikan seorang aktivis sangat banyak, karena seluruh potensi yang dimiliki dapat disumbangkan untuk dakwah. Untuk memudahkan kita memahami kontribusi dalam dakwah ini, al-atha’ ad-da’awy diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Al-Atha’ Al Fikry (Kontribusi Pemikiran)

Jiwa dari perjuangan da’wah adalah kontribusi pemikiran karena nilai-nilai Islam hidup bersama hidupnya pemikiran Islam di tengah-tengah umat. Umat ini tidak boleh sepi untuk mendayagunakan pemikirannya. Agar menghasilkan solusi yang telah diberikan Islam.

Ajaran Islam mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia dari berbagai zaman dan peradaban. Dan solusi yang diberikan mencakup berbagai aktifitas kehidupan manusia. Untuk mendapatkan jawabannya umat Islam harus mampu menggunakan satu senjata yang telah ditunjukkan oleh Allah swt. yakni ijtihad. Karenanya Rasulullah saw. sangat menghargai proses ijtihad yang dilakukan para pemikir ummat Islam sebagaimana pesan yang disampaikannya kepada Mu’adz bin Jabbal ketika akan membuka wilayah Yaman.

Dr. Yusuf Qaradhawi menyatakan dalam buku Fiqhul Aulawiyat : “Yang tampak oleh saya bahwa krisis kita yang utama adalah ‘krisis pemikiran’ (azmah fikriyah). Di sana terdapat kerancuan pemahaman banyak orang tentang Islam. Kedangkalan yang nyata dalam menyadari ajaran-ajarannya serta urutan-urutannya. Mana yang paling penting, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Ada pula yang lemah memahami keadaan masa kini dan kenyataan sekarang (fiqh al waqi’). Ada yang tidak mengetahui tentang ‘orang lain’ sehingga kita jatuh pada penilaian yang terlalu ‘berlebihan’ (over estimasi) atau sebaliknya ‘menggampangkan’ (under estimasi). Sementara orang lain mengerti benar siapa kita bahkan mereka dapat menyingkap kita sampai ke ‘tulang sumsum’ kita. Sampai hari ini kita belum mengetahui faktor-faktor kekuatan yang kita miliki dan titik-titik lemah yang ada pada kita. Kita sering membesar-besarkan sesuatu yang sepele dan menyepelekan sesuatu yang besar, baik dalam kemampuan maupun dalam aib-aib kita.’

Kontribusi kaum muslimin dalam bidang pemikiran akan melahirkan sebuah tsaqafah (intelektualitas) dan hadlarah (peradaban) Islam, sebagaimana yang pernah ditunjukkan dalam sejarah peradaban manusia sejak masa Rasulullah saw. sampai dengan pemerintahan Islam sesudahnya. Karena dari sikap inilah muncul kreativitas dan inovasi baru dalam kehidupan ini. Dengan terbiasanya berpikir untuk dakwah maka mereka akan terbiasa melahirkan sesuatu yang belum dipikirkan orang lain. Sehingga manajemen modern sedang menggalakan umat manusia untuk senantiasa berbuat sebelum orang lain sempat berpikir. Hal itu terjadi apabila kita terbiasa berpikir cepat dari yang lainnya. Karenanya seorang aktivis dakwah tidak boleh miskin ide dan gagasan apalagi kikir untuk dikontribusikan terhadap dakwah.

2. Al-Atha’ Fanny (Kontribusi Keterampilan)

Keterampilan merupakan anugerah mahal yang diberikan Allah swt. kepada manusia. Skill ini akan menjadi kekayaan yang tak ternilai. Keterampilan ini dapat pula menjadi eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan Allah sangat menghargai keterampilan yang dapat menghantarkannya ke jalan-Nya yang paling baik. Yakni skill yang dapat berguna untuk kepentingan dakwah. Untuk kepentingan inilah skill tersebut mendapatkan penghargaan di sisi Allah swt.

“Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.’ Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra’: 84)

Sesungguhnya semua skill yang dimiliki seseorang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap dakwah. Kemenangan dakwah dalam sepanjang sejarah juga diwarnai oleh keterampilan dari para pahlawan Islam. Ada yang mahir menunggang kuda dari balik perut kuda hingga bisa membuka benteng musuh. Ada yang terampil menggunakan pedangnya hingga tampak bagai tarian. Ada juga yang ahli dalam mengadu domba hingga mematahkan kekuatan barisan musuh dan masih banyak lagi yang lainnya. Karena itu para pengemban risalah dakwah ini mendorong umatnya untuk turut serta dalam mendayagunakan keterampilannya bagi kemenangan dakwah.

“Katakanlah: ‘Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahu.’” (Az-Zumar: 39)

3. Al-Atha’ Al-Maaly (Kontribusi Materi)

Kontribusi materi merupakan kekuatan fisik dari dakwah karena ia akan menggerakkan jalannya perjuangan ini. Berbagai sarana perjuangan diperlukan dan harus diperoleh melalui penyediaan material dan finansial. Oleh karena itu berbagai persiapan dalam hal ini diperintahkan Allah swt. sebagaimana firman-Nya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukuop kepadamu dan kamu tidak akan dianaiaya (dirugikan).” (Al-Anfal: 60)

Para sahabat telah menunjukkan betapa perjuangan dakwah harus diikuti oleh perjuangan mengorbankan harta, bahkan kadangkala dalam jumlah yang tiada taranya. Abu Bakar Shiddiq adalah sahabat yang rela mengorbankan seluruh harta miliknya di jalan Allah, sedangkan Utsman bin Affan yang kaya raya itu juga sangat luar biasa tanggung jawabnya dalam persoalan kontribusi material ini. Ketika pada masa Khalifah Umar bin Khattab terjadi musim paceklik Utsman menyumbangkan gandum yang dibawa oleh seribu ekor unta.

Perjuangan yang dihidupkan tidak hanya dengan semangat dan pemikiran, tetapi juga dengan dukungan materi yang kuat, akan mampu mengimbangi dengan musuh-musuh yang seringkali memiliki sarana yang lengkap dan hebat. Perhatian dalam hal ini adalah sebuah kewajiban yang asasi karena ini merupakan tuntutan sunatullah. Inilah yang ditunaikan Rasulullah saw. ketika memproduksi senjata-senjata perang, yang ditunaikan Umar bin Khattab ketika menciptakan “panser-panser” (dababah) atau Utsman bin Affan ketika membangun angkatan laut yang kuat di bawah pimpinan Muawiyah.

4. Al-Atha’ An-Nafsy (Kontribusi Jiwa)

Kontribusi jiwa (nafs) dapat berbentuk pengorbanan untuk menundukkan dorongan-dorongan nafs-nya yang memerintahkan kepada fujur dan menyerahkannya kepada ketakwaan. Sesungguhnya ini adalah kontribusi yang mendasari seluruh kontribusi lainnya. Seorang harus mengatasi keinginan-keinginan untuk membesarkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mau berkorban bagi pihak lain. Ia harus membebaskan dirinya dari sifat bakhil yang mengungkung jiwanya baik dalam aspek material maupun non-material.

Kontribusi terbesar diberikan seseorang kepada dakwah apabila ia rela tidak saja menundukkan jiwa kebakhilannya, tetapi bahkan melepas jiwanya itu sendiri dari badannya demi perjuangan dakwah. Inilah cita-cita terbesar dari seorang pejuang dakwah yang diikrarkannya tatkala ia mulai melangkahkan kakinya di jalan dakwah: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan AlQur-an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari pada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111).

Termasuk dalam kontribusi jiwa ini adalah kontribusi waktu (al waqt) dan kesempatan (al furshokh) yang dimiliki seseorang dalam perjalanan kehidupannya. Waktunya tidak akan dibelanjakan kepada hal-hal yang tidak memiliki aspek kedakwahan. Ia juga tidak akan menciptakan atau mengambil kesempatan-kesempatan dalam kehidupannya kecuali yang bernilai akhirat.

5. Al-Atha’ Al-Mulky (Kontribusi Kewenangan)

Kewenangan yang dimiliki seseorang dalam jajaran birokrasi pemerintahan ataupun kemasyarakatan dapat juga bermanfaat untuk kemajuan dakwah. Baik birokrasi tingkat rendah apalagi tingkat yang lebih tinggi. Dengan jabatan dan kewenangannya ia dapat menentukan sesuatu yang dapat dipandang baik atau buruk terhadap pertumbuhan dakwah.

Karenanya jabatan dan kewenangan yang ada padanya harus bisa memberikan pengaruh terhadap geliatnya dakwah. Bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Tidak jarang kita jumpai banyak orang yang tidak mempergunakannya untuk dakwah malah kadang mempersempit ruang gerak dakwah. Tidak seperti umat lain yang memaksimalkan jabatan dan kewenangannya untuk kepentingan dakwah mereka.

Lihatlah paparan kisah yang Allah swt. ceritakan dalam Al-Qur’an tentang pembelaan pengikut Nabi Musa yang berada di jajaran pemerintahan Fir’aun meski harus menyembunyikan imannya. Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir`aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Al-Mukmin: 28)

Begitu berartinya jabatan dan kewenangan bagi dakwah, sampai-sampai Rasulullah saw. berdoa pada Allah swt. agar memberikan hidayah Islam kepada pembesar Qurasiy, yakni antara dua Umar: Umar ibnul Khaththab atau Amr bin Hisyam.

Kiat untuk dapat memberikan kontribusi dakwah

Untuk dapat mendorong dirinya memberikan kontribusinya dalam dakwah, aktivis dakwah perlu mengupayakan kiat-kiat jitu dalam berkorban. Pertama, biasakan diri untuk memberikan kontribusi setiap hari meskipun dalam jumlah yang kecil. Sedapatnya bisa berkorban baik harta, waktu, dan tenaga setiap hari, pekan ataupun waktu-waktu lainnya. Kalau perlu dengan ukuran yang jelas, misalnya satu hari memberikan kontribusinya untuk dakwah Rp 1.000 atau dua jam dari waktunya atau satu gagasannya. Sehingga apa yang ia berikan dapat terukur. Untuk dapat membiasakannya bila perlu memberikan sanksi jika meninggalkan kebiasaan tersebut. Seperti Umar menyumbangkan kebunnya karena tidak shalat berjamaah. Ibnu Umar memperpanjang shalatnya bila tidak berjamaah. Rasulullah saw. mengerjakan shalat dhuha 12 rakaat bila meninggalkan qiyamullail.

Kedua, meningkatkan kemampuan visualisasi terhadap balasan dan ganjaran dunia dan akhirat. Apalagi balasan yang dijanjikan-Nya sangat besar, Allah swt. akan memberikan kedudukan yang kokoh di dunia atas segala kontribusi yang diberikan (An-Nuur: 55). Allah swt. juga memandang mulia orang yang berkorban, bahkan derajatnya ditinggikan dari orang yang lainnya (An-Nisaa’: 95). Keyakinan akan balasan dan ganjaran yang diberikan akan memudahkan orang akan menyumbangkan apa saja yang dimilikinya.

Ketiga, selalu bercermin pada orang lain dalam berkorban. Orang beriman akan menjadi cermin bagi yang lainnya. Dengan senantiasa melihat apa yang dilakukan yang lain. Paling tidak dapat memberikan dorongan untuk melakukan seperti yang dilakukan orang lain. Tidak jarang para sahabat berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan lantaran bercermin dari sahabat lainnya.

Keempat, selalu meyakini bahwa setiap pengorbanan yang diberikan akan memberikan manfaat yang sangat besar baik bagi dirinya ataupun yang lain. Keyakinan yang demikian akan mendorong untuk selalu berbuat. Sebab, betapa banyaknya orang yang dapat menikmati atau mengambil faedah dari apa yang kita lakukan. Sebagaimana ditemukan sebuah penelitian, para pekerja pembuat obat di pabrik tidak jadi melakukan mogok kerja karena mereka melihat langsung bahwa banyak pasien di rumah sakit yang sangat membutuhkan obat yang mereka buat.

Kelima, senantiasa berdoa pada Allah swt. agar dimudahkan untuk selalu berkorban. Karena Allah swt. pemilik hati orang beriman sehingga dengan berdoa diharapkan hati kita senantiasa berada di barisan terdepan untuk memberikan kontribusi bagi kemenangan dakwah. Dengan berdoa dapat bertahan untuk memperjuangkan dakwah hingga akhir hayat kita.

“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah: 27)