Senin, 07 Juni 2010

Pola Asuh Orang Keturunan

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA)

Seorang Ibu bertanya “Abah, mau tanya nih pola asuh seperti apa si yang diterapkan teman-teman kita orang tionghoa pada anak-anaknya? Apa yang seperti PSPA terapkan? Keliatan banget anak-anak mereka cerdas-cerdas sejak kecil. Di sekolah pun mereka selalu juara, apapun bisa mereka kuasai. Lain banget sama anak-anak kita ini. Padahal urusan anak semua diserahkan kepada pembantu. Mereka sibuk mencari uang dari pagi sampai malam”.

Silahkan pelajari dengan seksama, tak ada stereotype rendah yang saya kemukakan di tulisan ini. Tulisan ini saya buat untuk menanggapi pertanyaan dan sekaligus pernyataan seorang Bunda tadi. Tulisan ini juga tidak bermaksud mengungkap sejarah tionghoa di Indonesia tetapi bermaksud menyinggung pola asuh yang diterapkan oleh orang tionghoa di Indonesia.

Ayah Ibu, sebenarnya bagaimana seseorang dapat menjadi cerdas, pintar, juara, sukses, kaya dan bahkan bahagia tidak ada hubungannya dengan latar belakang kesukuan atau etnis mereka. Kondisi-kondisi pendukungnyalah yang akan membuat seseorang dapat seperti yang disebutkan tadi atau tidak.

Pertanyaan dan juga pernyataan ibu ini sebenarnya hanya generalisasi. Pada kenyataannya, tidak semua orang tionghoa dan keturunannya termasuk yang di Indonesia seperti yang dikatakan ibu tadi. Tidak semua anak-anak keturunan juara sejak kecil atau cerdas (akademik) sejak kecil, tidak semua mereka bisa menguasai banyak hal.

Singkatnya, menjadi sukses, lepas dari ukuran suksesnya (kekayaan, intelektual, jabatan, kedudukan), menjadi cerdas (intelektual, emosional, spiritual), menjadi bahagia tidak ada hubungannya dengan sukunya apa atau etnisnya apa. Mau dia orang Tionghoa kek, Melayu, India, Jepang, Korea, Spanyol, Prancis, Inggris, Amerika atau Batak, Aceh, Jawa, Papua, Sunda, semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk menuju ke arah yang saya bicarakan tersebut.

Jika pun sebagian kita melihat teman-teman kita yang keturunan terlihat sebagiannya sukses, sebenarnya hanya penilaian sekilas. Tidak semua dari mereka seperti yang kita kira. Jika pun ya, bukanlah karena etnis mereka yang membuat mereka seperti tersebut. Kondisi-kondisi pendukungnyalah yang membuat sebagian teman-teman kita yang keturunanan ini hadir di sekitar kita seperti terlihat kaya, sukses, cerdas, juara atau apapun hal positif yang disebutkan tadi. Kondisi pedukung ini bisa berbentuk karakter sebagian mereka yang memang baik dan kondisi lingkungan yang membuat mereka harus ‘survive’ lebih baik.

Saya katakan sebagian karena memang pada kenyataannya tidak semuanya seperti itu. Sebagai contoh saat saya SMA dan kuliah, memang saya memiliki beberapa teman keturunan yang prestasi akademik menonjol, tetapi lebih banyak yang sebenarnya biasa-biasa saja. Memang sebagian yang juara orang Olimpiade sains, matematika dan seterusnya adalah anak-anak keturunan Tionghoa. Tetapi dari orang-orang Jawa, bahkan Papua pun pernah ada bukan?

Di Bandung, saat saya berbelanja ke sebuah toko yang orang keturunan banyak yang menjadi pedagang di sana, saya pernah mendapati seorang ibu keturunan berusia 40 tahunan berjualan gorengan, hanya menenteng plastik keliling dari satu toko ke toko lainnya dengan beralaskan sendal jepit dan baju sederhana. Saya dapat memastikan bahwa ibu ini adalah orang keturunan dari penampilan fisik dan juga setelah memperhatikan beliau berinteraksi dengan teman-teman keturunan yang lainnya yang sesekali menggunakan bahasa mandarin.

Atau jika mau lebih ‘kelihatan’ silahkan bermain-main ke daerah Kalimantan Barat seperti Singkawang. Kita akan mendapati bukan hanya satu dua tapi banyak dari mereka yang dari segi ekonomi, pendidikan, dan lain-lain seperti orang Indonesia kebanyakan. Beberapa mereka juga adalah petani miskin.

Atau mungin Anda pernah mendengar istilah orang Cina Benteng (Chiben)? Cina Benteng adalah sebutan untuk orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah Tangerang. Orang Tionghoa yang disebut Cina Benteng ini secara ekonomi sebagiannya hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil dan pedagang kecil. Mereka bahkan juga pernah menghadapi penggusuran.



Potret kehidupan masyarakat Chiben

Jadi, sekali lagi, tidak semua teman-teman kita Tionghoa seperti yang kita kira: semuanya kaya, semuanya cerdas, semuanya juara. Mereka adalah manusia biasa, seperti kita yang bisa sukses atau tidak sukses, bukan karena ditentukan matanya sipit atau tidak, kulit kuning atau hitam, tetapi karena perilaku positif yang membuat siapapun dapat menuju kea rah tersebut dan perilaku itu dibentuk oleh gabungan banyak hal: kemauan, kesempatan, kemampuan, karakter positif dan banyak kondisi-kondisi pendukung lainnya.

Memang, kita akui, sebagian mereka setelah dewasa ternyata menjadi pedagang-pedagang hebat. Tapi, banyak dari kita pun juga yang bisa menjelma menjadi pedagang hebat. Orang-orang keturunan Arab, sebagian adalah pedagang hebat di bidang meubeul. Orang-orang keturunan India sebagian adalah pedagang hebat di bidang tekstil. Jika pun teman-teman kita yang Tionghoa lebih banyak yang jadi pedagang hebat dan sebagian besar orang-orang terkaya di Indonesia adalah orang keturunan Tionghoa, sekali lagi bukanlah karena Tionghoanya, itu pun tidak datang dengan sendirinya.

Tentu ada banyak jawaban untuk menanggapi hal tersebut, silahkan Anda tambahkan sendiri. Setidaknya menurut subyektivitas saya beberapa diantara: Pertama, kenapa sebagian anak-anak keturunan etnis Tionghoa bisa menjadi kaya raya? karena mereka mewarisi bisnis orang tuanya, mulai dari yang trilyunan sampai yang kelas kelontong, yang telah berjalan bertahun-tahun dan tak perlu merintis sebuah bisnis dari nol lagi.

Kedua, leluhur-leluhur mereka yang datang ke Indonesia dan juga yang ada di belahan dunia lainnya adalah orang-orang ‘perantau’ yang menyebrang lautan dan bahkan samudera. Menyitir teori Mestakung (semesta mendukung)-nya, Prof. Yohanes Surya, mereka dalam kondisi yang dipaksa ‘susah’, tapi akibat susah itulah mereka kemudian memiliki kekuatan mental yang terbina dengan baik.

Itu sebabnya mungkin negara-negara maju sebagian besar adalah negara yang berada di dunia belahan Utara. Hanya sedikit yang secara geografis berada di belahan tengah (khatulistiwa) atau selatan.

Orang-orang yang hidup negeri-negeri di belahan utara berada di wilayah dengan 4 musim, untuk sekedar bertahan hidup saja alam mengharuskan mereka berjuang lebih keras dibanding orang yg hidupnya disekitar katulistiwa (saya ingat dengan gambaran ini sedikitnya misalnya bisa dilihat dari Film Oshin).

Disekitar katulistiwa, pohon hijau 365 hari setahun, menghasilkan bermacam macam buah silih berganti. Untuk mendapatkan ikan dari sungai dan laut tidak sesulit ditempat yg sedang mengalami musim dingin. Mudahnya hidup disekitar katulistiwa menyebabkan penghuninya tidak perlu berjuang keras untuk hidup, tidak perlu memikirkan bagaimana menyimpan makanan ketika tanah tertutup es, menyebabkan mereka jadi tidak setangguh orang yg hidup ditempat dengan 4 musim.

Bayangkan, kentang sebagai bahan makanan pokok disana, kalau digali dimusim dingin, sudah menggalinya susah, kentangnya juga sekeras batu! Seharusnya, orang-orang di belahan Khatulistiwa dengan kekayaan alamnya, bisa lebih makmur dari belahan dunia lainnya, tapi lagi-lagi dari belahan lainnya. Tapi lagi-lagi akibat dari karakter yang tak dibina, membuat mereka akhirnya hanya jadi ‘pasar’ untuk negera-negara lainnya.

Ketiga, posisi mereka yang minoritas di Indonesi atau di Negara-negara lainnya di luar China, mampu membangkitkan premordialisme yang tinggi. Ini juga terjadi dengan etnis lainnya. Tak sedikit saat saya berjumpa dengan sesama orang Sunda di daerah lain, perasaan seperti ‘bersaudara’ begitu saja tumbuh. Jika perantau Sunda ini bertemu lagi dengan perantau sunda lainnya, akhirnya primodialisme positif ini membentuk ikatan-ikatan lainnya: saling membantu, saling memberikan akses dan lainnya.

Begitu juga dengan orang-orang Tionghoa di Indonesia, tidak lepas dari kesamaan mereka yang mewarisi tradisi budaya super yaitu Cina. Ini kemudian dikaitkan dengan sifat-sifat tradisi budaya itu untuk bersikap hemat, kerja keras, mengutamakan pendidikan, persatuan dan saling membantu, bahkan ditekankan kembali Confucianisme sebagai etos pengikat orang-orang Tionghoa yang asalnya memang dari Cina.

Mungkin bedanya dengan etnis lainnya yang merantau, orang-orang Tionghoa ikatan primordial mereka lebih terlembagakan. Bahkan tak berlebihan jika kemajuan ekonomi Negara China hari ini juga adalah akibat kontribusi orang-orang China perantauan. Mari kita kutip artikel dari Indonesianvoices.com:

Menurut kajian Sterling, yang dituangkan dalam bukunya ‘Lords of the Rims’, pada tahun 1990 ada 55 juta orang Cina Perantauan atau “China Overseas”. Mereka umumnya berasal dari Cina Selatan (pesisir). Jumlah mereka ini hanya 4 persen dari total bangsa Cina Daratan 1,2 milyar. Namun jika seluruh kekuatan ekonominya digabung dengan lintas batas-batas negara, maka seluruh nilai kekayaan Cina Perantauan berjumlah AS $ 450 milyar. Angka ini adalah 35 persen lebih besar dari jumlah GNP negeri Cina tahun 1990!

Para taipan bisnis Cina Perantauan berandil besar membentuk semacam kongsi bisnis yang melewati batas-batas negara namun saling menjalin usaha bisnis yang saling menyokong antar sesamanya. Jalinan sistem finansial kaum Cina Perantauan ini terbentang di pusat-pusat keuangan dunia di seputar wilayah Samudera Pasifik mulai dari Vancouver Canada, Los Angeles USA, Hong Kong, Taipei, Singapore sampai dengan negara ASEAN termasuk Indonesia.Sederetan nama tersohor di antara pebisnis kaya raya seperti Li Ka Shing di Hongkong dan Lim Soei Liong di Indonesia sempat pernah menjadi peringkat atas orang terkaya tidak hanya di Asia Pasifik namun di dunia pada dekade 1990-an.

Sekali lagi, bedanya dengan etnis lainnya, ikatan primordial orang Tionghoa ini lebih terlembagakan. Misalnya pada Agustus 1991 Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew pernahh mengadakan Konvensi Cina Sedunia di Singapura untuk mengumpulkan pengusaha-pengusaha Cina Perantauan dari seluruh dunia. Konvensi ini dihadiri 800 pengusaha besar Cina yang datang dari 30 negara termasuk dari Indonesia.

Konvensi ini bertujuan untuk “membentuk jaringan kerja sama ekonomi masyarakat bisnis internasional Cina untuk memanfaatkan berbagai peluang bisnis”.Pertemuan ini mampu membangkitkan premordialisme para pengusaha Cina bahwa keberhasilan mereka dalam bidang ekonomi tidak lepas dari kesamaan mereka yang mewarisi tradisi budaya super yaitu Cina.

Konvensi ini kemudian disusul dengan konvensi serupa yang diadakan di Hongkong pada bulan November 1993 yang dihadiri 1000 pengusaha besar Cina dari seluruh dunia. Indonesia diwakili 40 konglomerat non-keturunan Cina. Jauh sebelum itu, pemerintah Cina pada tahun 1949 mendirikan Departemen Komisi Tionghoa Perantauan dan memberikan 30 kursi di Kongres Rakyat Cina untuk wakil-wakil Tionghoa Perantauan termasuk wakil-wakil dari Indonesia. (Baca lebih lengkap di sini:http://indonesianvoices.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10 6:mengapa-para-touke-china-sukses-berdagang-di-berbagai-penjuru-dunia&catid=1:latest-news&Itemid=50).

Orang-orang Tionghoa kebanyakan di Indonesia mungkin juga tak memahami hal ini. Tetapi, bahwa ikatan primordial mereka tak sengaja kemudian menjadi salah satu ‘kekuatan’ mereka, bagi saya benar adanya. Tapi sekali lagi, bukan karena Tionghoanya, tetapi karena memang sesuatu yang wajar saja saat kita di perantauan lalu bertemu dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama kemudian terjadi hubungan dan ikatan lebih sesamanya. Seperti orang-orang keturunan Yahudi di banyak belahan dunia yang membentuk banyak jaringan internasional untuk menyokong Negara mereka. Pertanyaannya, kenapa kita tidak mengikutinya? Silahkan Anda cari sendiri jawabannya.
Keempat, mereka dan anak-anaknya mereka latih untuk berinvestasi dan bisnis (dagang) dari kecil. Ini juga sebenarnya ‘dipaksa’ oleh kondisi. Waktu jaman Orde Baru, karena ketakutan terhadap ideologi komunis (China), pemerintah yang didukung oleh negara-negara Barat (ideologi kaplitas) kemudian dan membuat aturan-aturan yang cenderung diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa. Coba berapa banyak dari orang Tionghoa di Indonesia yang menjadi PNS? Lurah? Camat? Tertutup sudah!

Tetapi ini justru menjadi kekuatan tersembunyi yang positif buat mereka. Akibatnya, orangtua-orangtua etnis Tionghoa dari kecil benar-benar mendidik anak-anaknya untuk menjadi pedagang karena itu satu-satunya pilihan baik. Jadi PNS tidak bisa, jadi tentara tidak bisa ya jadi pedagang!

Saya masih ingat dengan sebuah cerita dari orangtua saya, jika orang Tionghoa punya toko, kasarnya, jika si empunya mau barang di toko dia pun harus membelinya atau setidaknya mencatatnya. Tidak sembarangan seperti orang kita yang punya warung yang seenaknya main ambil.

Orangtua-orangtua ini menempa anaknya dari kecil dengan ketekunan, kerja keras dan juga dari segi keuangan gemar menyimpang uang (untuk kemudian investasi). Saya terbengong-bengong saat saya punya adik kelas SMA, yang orang keturunan Tionghoa, punya banyak rekening di Bank dan dia hapal di luar kepala nomor rekeningnya.

Atau saya juga masih ingat dengan sebuah cerita di sebuah tempat di Senen, Jakarta. Ada orang Tionghoa punya toko kain. Di sebelahnya persis ada pak Haji yg juga buka toko kain. Setelah dua tahun, bisnis si Tionghoa makin maju, dan si pak Haji sebelah akhirnya bangkrut.

Ternyata bukan karena si Tionghoa main curang atau guna-guna si pak haji. Ternyata itu karena yang Tionghoa, walaupun sudah untung, uangnya di simpan dan ditabung saja, untuk mengembangkan bisnisnya lagi. Dan dia dan istrinya makan telor ceplok saja Sedangkan si pak haji baru untung sedikit sudah makan besar di restoran karena gengsi sama keluarga nya.

Silahkan diambil pelajaran baik dari teman-teman kita yang Tionghoa ini. Anda sendiri yang akan mengambil kesimpulan. Jadi apa yang bisa kita terapkan untuk anak-anak kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar