Jumat, 30 April 2010

labeling

Bodoh sekali sih kamu, begitu saja salah, tidak bisa……

Aduh anak saya ini loh pemalu sekali……..

Dasar anak bandel……….

Beberapa orangtua pasti tidak asing dengan kalimat-kalimat di atas,
beberapa orangtua yang lain mungkin pernah mendengar (dan mengucapkan)
versi-versi lain dari kalimat sejenis. Versi-versi lain itu bisa
kalimat negatif seperti contoh-contoh di atas dan bisa juga
kalimat-kalimat positif yang berisi pujian tentang kehebatan-kehebatan
anaknya. Orangtua yang "sempurna" dan sulit menerima kesalahan dan
kekurangan, mungkin akan lebih banyak mengatakan kalimat-kalimat
negatif, orangtua yang "adil" mungkin pernah mengatakan kedua jenis
kalimat tersebut tergantung keadaan anak, sementara orangtua lain yang
selalu berpikir positif dan hanya mau melihat hal-hal positif pada
anaknya mungkin hanya mengatakan kalimat-kalimat positif. Semua itu
disebut sebagai labeling.

Labeling

Labeling adalah proses melabel seseorang. Label, menurut yang
tercantum dalam A Handbook for The Study of Mental Health, adalah
sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi
identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe
bagaimanakah dia.Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita
cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan
pada perilakunya satu persatu.

Dampak Terhadap Anak

Dalam teori labeling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran
tersebut menyatakan "seseorang yang diberi label sebagai seseorang
yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi
devian".Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut
"anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel,
akan menjadi bandel". Atau penerapan lain "anak yang diberi label
bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh". Kalau
begitu mungkin bisa juga seperti ini "Anak yang diberi label pintar,
dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar".

Pemikiran dasar teori labeling ini memang yang biasa terjadi, ketika
kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang
sesuai dengan label yang kita berikan. Misalnya, seorang anak yang
diberi label bodoh cenderung tidak diberikan tugas-tugas yang
menantang dan punya tingkat kesulitan di atas kemampuannya karena kita
berpikir "ah dia pasti tidak bisa kan dia bodoh, percuma saja menyuruh
dia". Karena anak tersebut tidak dipacu akhirnya kemampuannya tidak
berkembang lebih baik. Kemampuannya yang tidak berkembang akan
menguatkan pendapat/label orangtua bahwa si anak bodoh. Lalu orangtua
semakin tidak memicu anak untuk berusaha yang terbaik, lalu anak akan
semakin bodoh. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label
tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang
melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan
memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus
melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.

Dalam buku Raising A Happy Child, banyak ahli yang setuju, bahwa
bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan
menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang
memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya
dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan
kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa
dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan
yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak
berprestasi.

Bagi banyak orang (termasuk anak-anak) pengalaman mendapatkan label
tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya
ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh
penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan
berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif
terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.

Saran Bagi Orangtua

Adalah penting bagi anak untuk merasa bahwa dirinya berharga dan
dicintai. Perasaan ini diketemukan olehnya lewat respon orang-orang
sekitarnya, terutama orang terdekat yaitu orangtua. Kalau respon
orangtua positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi,
adakalanya sebagai orangtua, tidak dapat menahan diri sehingga
memberikan respon-respon negatif seputar perilaku anak. Walaupun
sesungguhnya orangtua tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya,
namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan orangtua dan bagaimana
orangtua bertindak, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan
berpengaruh dalam kehidupannya.

Beberapa saran bagi orangtua:

1. Berespon secara spesifik terhadap perilaku anak, dan bukan
kepribadiannya. Kalau anak bertindak sesuatu yang tidak berkenan di
hati, jangan berespon dengan memberikan label, karena melabel berarti
menunjuk pada kepribadian anak, seperti sesuatu yang terberi dan tidak
bisa lagi diperbaiki. Contoh: Kalau anak tidak berani menghadapi orang
baru, jangan katakan "Aduh kamu pemalu sekali", atau "Jangan penakut
begitu dong Nak", tetapi beresponlah "Tidak kenal ya dengan tante ini,
jadi tidak mau menyapa. Kalau besok ketemu lagi, mau ya menyapa, kan
sudah pernah kenalan". Kalau anak nakal (naughty), jangan katakan
bahwa dia nakal tapi katakan bahwa perilakunya salah (misbehave).
Anak-anak sering berperilaku salah, selain karena mereka memang belum
mengetahui semua hal yang baik-buruk; benar-salah; boleh-tidak boleh,
mereka juga suka menguji batas-batas dari orangtuanya. Misalnya, kakak
merebut mainan adik, katakan "Kakak, merebut mainan orang lain itu
salah, tidak boleh begitu. Kalau main sama adik gantian ya" (dan bukan
mengatakan "Kakaaaaak, nakal sekali sih merebut mainan adiknya").
Dengan demikian tidak ada pesan negatif yang masuk dalam pikiran anak,
dan bahkan anak didorong untuk mau bertindak benar di waktu berikutnya.

2. Gunakan label untuk kepentingan pribadi orangtua. Sebenarnya
melabel tidak selamanya buruk, asalkan label tersebut digunakan
orangtua untuk dirinya sendiri, agar lebih memahami dinamika perilaku
anak. Misalnya, "Anakku A lebih bodoh daripada anakku B". Tapi label
tersebut tidak dikatakan di depan anak, "A kamu itu kok lebih bodoh ya
daripada adikmu si B". Dengan mengetahui dinamika anak lewat label
yang ada dalam pikiran orangtua sendiri, hendaknya orangtua
menggunakan label tersebut untuk menyusun strategi selanjutnya, agar
kekurangan anak diperbaiki. Misalnya, setelah mengetahui A lebih bodoh
daripada B, maka orangtua memberikan lebih banyak waktu untuk
mengajarkan sesuatu dan mempersiapkan diri untuk lebih sabar jika
menghadapi A.

3. Menarik diri sementara jika sudah tidak sabar. Adakalanya orangtua
sudah tidak sabar dan inginnya melabel anak, misalnya "Heeeeh kamu
goblok banget sih, 1 + 1 saja tidak bisa-bisa". Jika kesabaran sudah
diambang batas, sebelum kata-kata negatif keluar, ada baiknya orangtua
menarik diri sementara dari anak, time off. Katakan pada anak, "Papa
sudah lelah, mungkin kamu juga sudah lelah. Kita istirahat dulu, nanti
belajar lagi sama-sama. Siapa tahu setelah istirahat kita berdua lebih
berkonsentrasi dan semangat belajar".

Bagaimana cara orangtua berbicara dan menanggapi kekurangan-kekurangan
anak akan sangat berpengaruh bagi anak sepanjang hidupnya. Oleh karena
itu orangtua harus sangat berahti-hati dan mempertimbangkan secara
matang apa yang akan diucapkan kepada anaknya. Mulutmu harimaumu,
begitulah kata pepatah, yang dalam hal ini mulut orangtua bisa menjadi
harimau bagi anak. Penting sekali orangtua selalu berkata-kata positif
tentang anak, agar anak jadi berpikir positif tentang dirinya dan
bertumbuh dengan harga diri yang tinggi dan perasaan dicintai dan
diterima.

sumber : e-psikologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar