Jumat, 30 April 2010

Mendengar atau didengar

Anak:
Mama...mama...adek nggak mau sekolah lagi...pokoknya nggak
mau...sekolah itu nggak enak soalnya ada si dono yang badannya besar
dan suka gangguin adek...adek takut, Ma...adek nggak mau ketemu
dono....(sambil menangis)

Mama:
(mamanya sambil matanya lekat ke sinetron yang sedang seru-serunya)
Mmmm...Oooo...Aahh nggak apa-apa, kan...biasa itu...masa' begitu saja
takut...pokoknya besok sekolah seperti biasa...ya! anggap saja tidak
ada apa-apa....ya sudah, sana..! lagi seru niiih..wah, jadi kelewat
deh ceritanya...! kamu sih...!

Problem Komunikasi Dalam Keluarga

Situasi di atas sepertinya tidak asing lagi di jaman ini, di mana
setiap orang, termasuk orang tua, seolah membangun dunia sendiri yang
terpisah dari orang lain, bahkan anggota keluarganya sendiri.
Komunikasi keluarga menjadi "barang mahal dan barang langka" karena
masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya
masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga,
adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya
sebatas permukaan). Misalnya, pemberitahuan agenda kerja ayah hari
ini, rapat di kantor, janji bertemu orang, harus presentasi, atau
mungkin membicarakan mengenai teman ayah punya pekerjaan baru, si Pak
Tiar pergi ke luar negeri, tingkat bunga bank, kurs dollar, situasi
politik, kerusuhan yang terjadi di luar daerah, dan lain sebagainya.
Sementara ibu membicarakan tentang teman kerja di kantor, rencana
bisnis ibu, rencana masak memasak, pertemuan arisan, acara televisi
baru, atau membicarakan tentang anak teman ibu yang punya masalah.
Anak-anak, punya dunianya sendiri yang sarat dengan keanekaragaman
pengalaman dan cerita-cerita seru yang beredar di kalangan teman-teman
mereka.

Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya
"waktu bersama", membuat hubungan antara orang tua - anak semakin
berjarak dan semu. Artinya, hal-hal yang diutarakan dan
dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya ngobrol dengan
orang-orang lainnya. Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit
mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang
dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama
lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada
orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh,
seperti tidak mau makan, sulit tidur (insomnia), murung atau
prestasinya meluncur drastis. Orang tua merasa selama ini anaknya
seperti "tidak ada apa-apa" dan biasa saja. Lebih parah lagi, mereka
menyalahkan anak, menyalahkan pihak lain, entah pihak sekolah, guru,
atau malah saling menyalahkan antara ayah dengan ibu. Seringkali orang
tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi
setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi
dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka.

Seni Mendengarkan

Komunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata.
Komunikasi, adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks
: bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata.
Seni mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan
mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya
kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan,
komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi
/ yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat
minimal.

Bagaimana Cara Mendengarkan ang Baik?

Di awal artikel ini pembaca dapat menarik gambaran bagaimana suasana
hati sang anak dan apa yang diharapkannya ketika ia mencoba
"berkomunikasi" dengan sang ibu; dan bagaimana keadaan "hati" anak
setelah itu? Kejadian tersebut tampaknya sangat umum terjadi di
mana-mana, di hampir setiap keluarga. Memang, tidak ada orang tua
sempurna, karena setiap orang tua memiliki masalahnya masing-masing
hingga seringkali memblokir hubungan positif yang seharusnya terjalin
antara mereka dengan anak-anak. Tapi, bukan berarti hal itu dapat
selalu dimaklumi, bukan? Bagaimana pun, setiap kita para orang tua,
perlu diingatkan kembali, bagaimana cara "mendengarkan" anak kita.

1. Fokuskan perhatian pada anak

Pada saat anak mencoba mengatakan sesuatu, berilah perhatian
sepenuhnya pada ceritanya. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita
mengalihkan perhatian sejenak dari film atau sinetron yang sedang
ditonton, majalah, koran, atau dari pekerjaan yang sedang dihadapi.
Tataplah langsung di matanya sambil memberi kesan bahwa kita
benar-benar siap memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk
bercerita.

2. Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian

Tahanlah diri untuk tidak menginterupsi ceritanya sampai anak selesai
bercerita. Ketika anak selesai bercerita, cobalah memberikan
kesimpulan berdasarkan hasil tangkapan kita terhadap ceritanya. Pola
ini, memberikan feedback bagi orang tua dan anak, apakah kita
benar-benar telah memahami apa yang diceritakan atau apa yang
sebenarnya ingin diungkapkan oleh anak.

3. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi

Kita boleh bertanya pada mereka: "bagaimana perasaan adek, waktu
itu?", cara ini jauh lebih baik ketimbang menjatuhkan penilaian
subyektif atas diri mereka: "ah, kamu pasti takut! Kamu kan penakut!"
atau "ah, paling kamu menangis...kan kamu cengeng..." atau "kamu nggak
menangis, kan? Anak mama papa pemberani, tentu tidak pernah menangis!"
Penilaian tersebut malah membuat anak frustrasi karena mereka
mengharap orang tua bisa mengerti perasaan mereka, bukan menilai sikap
dan perasaan mereka. Selain itu, penilaian subyektif orang tua yang
datang terlalu cepat, bisa membuat anak menarik diri untuk tidak lebih
lanjut menceritakan perasaan yang sebenarnya, karena orang tua sudah
punya anggapan tertentu. Misal, anak itu sebenarnya takut ketika
berhadapan dengan teman sekolah yang lebih besar badannya dan suka
mengganggunya - namun urung bercerita karena orang tua sudah memberi
label pada sang anak sebagai "anak mama-papa pasti pemberani".
Menceritakan perasaan dan kejadian yang sesungguhnya, hanya akan
membuat dirinya dimarahi atau malu karena dianggap lemah.

4. Bantu anak mendefinisikan perasaan

Mendengarkan sepenuhnya cerita pengalaman anak, baik itu menyedihkan
dan menyenangkan, membuat kita berdua (dengan anak) dapat berbagi rasa
dan anak pun akan merasa orang tua menghargainya. Anak akan biasa
bersikap terbuka karena yakin orang tua pasti bersedia mendengarkan
mereka. Jika anak masih sulit mengidentifikasi perasaan mereka,
bantulah dengan mendengarkan cerita mereka sungguh-sungguh, dan
melontarkan kesan seperti "Wah..adek sepertinya sedih sekali..." atau
"Kamu kelihatan sangat marah..." atau "adek sepertinya sedang bosan?"
Anak akan sangat lega ketika orang tua bisa menangkap perasaan mereka.
Interaksi demikian, melatih anak mengidentifikasikan perasaan mereka
secara tepat.

5. Bertanya

Hindari sikap memaksakan pendapat, cara, penilaian orang tua; alangkah
lebih baik jika orang tua membimbing mereka dengan
pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian
yang dialami, teman yang dihadapi, perasaan yang mereka rasakan serta
sikap - tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.

6. Mendorong semangat anak untuk bercerita

Hanya dengan memberi respon "Ooo....O ya?...Wow...!" sudah menjadi
stimulasi bagi mereka untuk makin giat bercerita. Pola ini dapat
membuat anak tenang dan nyaman karena merasa orang tua memahami apa
yang mereka ungkapkan.

7. Mendorong anak mengambil keputusan yang tepat

Jika orang tua ingin membantu anak menghadapi masalahnya, sebaiknya
kita tidak mengambil alih keputusan ("ya sudah, besok kamu tidak usah
masuk sekolah") atau tindakan ("biar mama yang hadapi si boy teman mu
yang nakal...biar mama si boy tahu apa yang anaknya lakukan!").
Sebaliknya, hadirkan beberapa alternatif yang membuat mereka berpikir
dan memilih manakah solusi terbaik sambil membicarakan akibat-akibat
yang bisa dirasakan baik oleh anak maupun oleh orang lain.

8. Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif

Jika anak masih diliputi emosi yang memuncak hingga membuatnya sulit
berbicara, orang tua jangan memaksakan anak untuk segera bicara. Kita
tidak akan berhasil membuatnya bercerita dan kita pun makin tidak
sabar untuk tidak memberikan opini kita padanya. Konflik seringkali
terjadi dan ini menyebabkan memburuknya hubungan orang tua anak.
Berikan waktu untuk menyendiri sampai intensitas perasaannya mereda.
Ketika emosinya mereda, anak akan lebih siap untuk diajak bicara.
Sekali lagi, berusahalah untuk tidak memberikan opini kita pribadi,
baik terhadap pilihan sikapnya, emosinya, dan tindakannya.Tanyakan
pemikiran mereka terhadap masalah ini dan bagaimana kira-kira sikap
yang sebaiknya mereka lakukan di kemudian hari. Sikap ini tidak saja
menghindarkan anak dari perasaan dihakimi, namun juga membantu mereka
lebih memahami kejadian / peristiwa itu secara obyektif serta
menemukan nilai atau pelajaran berharga yang dapat dipetik dari
kejadian itu.

Apa manfaat dari mendengarkan?

Bagi seorang anak, komunikasi bukan hanya bertujuan untuk membuat
orang dewasa atau orang lain mengetahui dan memenuhi kebutuhannya.
Dari komunikasi itu lah, anak dapat menarik kesimpulan, bagaimana
orang dewasa memandang dirinya; dan dari kesan ini lah seorang anak
membangun rasa percaya diri dan sense of self. Anak akan merasa
dihargai, merasa percaya diri dan mengembangkan penilaian positif
terhadap dirinya, ketika orang tua menaruh perhatian tidak hanya pada
ceritanya, tapi juga pada pendapat, keyakinan, kesimpulan, ide-ide,
perasaan, bahkan ketika pendapat tersebut tidak sesuai dengan pendapat
orang tua. Sikap orang tua yang "mendengarkan" anak, membuat anak
berani membuat perbedaan dan menjadi berbeda, tanpa takut dihukum,
dilecehkan atau ditertawakan. Hal itulah yang menjadi salah satu
landasan keberanian dan keinginan anak, untuk menjadi diri sendiri apa
adanya.

Dari tanggapan-tanggapan orang tua, anak akan belajar mengenal banyak
informasi dan pengetahuan, mendengar sesuatu yang berbeda dari yang
dipikirkannya selama ini, melihat alternatif yang lain, menilai
pendapat dan tindakannya sendiri, menilai posisi dirinya di mata orang
lain, dan menarik kesimpulan apa yang harus dilakukan olehnya. Proses
saling mendengarkan dan didengarkan, mengasah daya kritis dan
kreativitas berpikir anak karena ketika antara anak dengan orang tua
terdapat jalur 2 arah yang terbuka, maka terbuka pula akses informasi,
pengetahuan, perasaan, pemikiran dan pengalaman dari kedua belah
pihak. Satu sama lain, saling belajar dan saling memperkaya, saling
mengenal dan semakin memahami.

Proses komunikasi antara orang tua dengan anak, sangat membantu anak
memahami dirinya sendiri, perasaannya, pikirannya, pendapatnya dan
keinginan-keinginannya. Anak dapat mengidentifikasi perasaannya secara
tepat sehingga membantunya untuk mengenali perasaan yang sama pada
orang lain. Lama kelamaan, semakin anak terlatih dalam mengenali
emosi, tumbuh keyakinan dan sense of control terhadap perasaannya
sendiri (lebih mudah mengendalikan sesuatu yang telah diketahui).
Misal, jika anak sudah tahu bagaimana rasanya marah, sedih, kecewa,
takut, kesepian, dsb, maka akan lebih mudah bagi orang tua memberikan
alternatif-alternatif cara menghadapi dan menyelesaikannya.

Mendengarkan anak secara sungguh-sungguh, membuat anak percaya pada
orangtua. Hubungan mutual trust, ini membuat anak merasa lebih nyaman
berada bersama orang tua, lebih memilih curhat dengan orang tua dan
siap menjadi "partner" ketika orang tua yang giliran butuh didengarkan.

Evaluasi Diri

Mendengarkan dan didengarkan, adalah kunci hubungan orang tua-anak
yang sangat bermanfaat, baik untuk pengembangkan kematangan emosional,
kepandaian intelektual, kemampuan membina kehidupan sosial yang baik
serta penanaman nilai prinsip moral yang baik pada anak. Dengan
mendengar dan didengar, jalur komunikasi 2 arah terbuka lebar antara
orang tua รข€" anak, memungkinkan keduanya saling mengerti dan membuat
orang tua dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh anak. Namun
sebaliknya, jika kata-kata yang diucapkan anak hanya sekedar
"terdengar" di telinga kita, akan hilang begitu saja terbawa angin dan
tidak memberikan makna serta kontribusi apapun dalam proses
pertumbuhan anak. Nah, apakah kita sebagai orang tua, tega
mengorbankan kualitas perkembangan dan tingkat kematangan emosional,
intelektual, moral, dan kemampuan sosial anak kita demi kesenangan
sesaat (film yang menarik, obrolan gossip yang asik, berita yang
sedang dibaca, dan lain sebagainya).....Inilah saatnya kita sebagai
orang tua merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari, apakah kita sudah
lebih sering mendengarkan anak....ataukah, cerita mereka hanya
terdengar sayup-sayup oleh kita?...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar